Jakarta, POROSNEWS.ID – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengatakan hasil kajian terkait kepastian hukum dan hak atas tanah menjadi contoh konflik agraria yang selama ini sering terjadi di tengah masyarakat Indonesia.
Dalam masalah klasik sengketa agraria yang ditemukan yakni tumpang tindih HGU, KPK memotret sengketa ini terjadi karena proses sertifikat luas HGU di Indonesia masih banyak yang belum terpetakan, bertempat di Gedung Kementerian ATR/BPN, Selasa (3/1/2023).
Dari total luas wilayah daratan sekitar 1.905 juta km², konflik menjadi masif dan penting untuk segera diurai agar mendapat solusi serta mencegah peluang terjadinya korupsi dan sertifikat HGU belum terpetakan mencapai 1.799 sertifikat dengan luas mencapai 8,3 juta hektar.
Selain itu, KPK juga menemukan penyimpangan SOP penerbitan HGU masih marak terjadi. Ditemukan 61 persen pelayanan HGU tahun 2021 melebihi SLA. Rata-rata penyimpangan waktu penerbitan dari SLA adalah 4 sampai 12 bulan. Penyimpangan waktu layanan paling lama, SK Perpanjangan HGU Badan Hukum yakni 269 hari.
Layanan melebihi SLA ialah SK pemberian HGU Badan Hukum sebesar 90 persen. Dari hasil survei, Kantah Kabupaten Kutai Timur paling banyak melebihi SLA (60 persen). Pun, ditemukan penambahan biaya tidak resmi penerbitan HGU mencapai 250 persen.
Jadi rekomendasi KPK pada sektor HGU yaitu pertama, Perbaikan sistem pengawasan mulai dari penerbitan hingga pemanfaatan, penyusunan mekanisme pengawasan berbasis teknologi dan pengawasan berbasis risiko. Kedua, dibutuhkan aturan/SOP HGU. Ketiga, mendukung pelaksanaan Perpres Percepatan Pelaksanaan Kebijakan mengatasi tumpang tindih HGU dan kawasan hutan.
Hadir dalam kegiatan ini Wakil Ketua KPK Alexander Marwata, Direktur Korsup wilayah III Bahtiar Ujang Purnama, Direktur Monitoring KPK Agung Yudha. Kemudian Wakil Menteri ATR BPN Raja Juli Antoni beserta pejabat struktural dilingkungan Kementerian ATR/BPN.
Penulis : S. Usman
Editor : M. R. Laiya