Robert Owen, Prabowo, Dan Utopia Yang Menjejak di Tanah Indonesia

Berita Utama73 Dilihat

POROSNEWS.ID – Sejarah selalu punya cara menghadirkan dirinya dalam ingatan kita. Ia bisa saja hadir dalam lawatan hari besar, tak jarang pula ia memilih hadir lewat inspirasi.

Dalam sejarah industrialisasi Eropa, nama Robert Owen (1771–1858) terpatri sebagai seorang yang berani bermimpi melawan arus. Ia dikenal sebagai “sosialis utopis,” karena di tengah kerakusan kapitalisme awal abad ke-19, Owen memilih jalan berbeda: ia menuntut jam kerja yang manusiawi, pendidikan bagi anak buruh, tempat tinggal yang layak bagi para buruh, hingga koperasi sebagai fondasi kekuatan ekonomi.

Kini dua abad berlalu, pada akhirnya gema itu menjejakan kaki di Indonesia. Lewat program Makan Bergizi Gratis, Sekolah Rakyat, dan Koperasi Desa Merah Putih, Prabowo seolah menyambung spirit Owen: membangun peradaban dari manusia, bukan sekadar dari angka-angka pertumbuhan.
Di pabrik tekstil New Lanark, Owen memperkenalkan kebijakannya yang mengejutkan: buruh hanya bekerja 8 jam dan anak-anak bisa masuk sekolah. Ia bahkan merumuskan semboyan legendaris: “Eight hours labour, eight hours recreation, eight hours rest.”

Di masanya, barangkali ia dianggap gila oleh kelompok kapitalis. Tetapi dari kegilaannya itulah lahir benih negara yang sejahatera. Bahkan Marx, yang kemudian mengembangkan teori kelas sosial, meneriaki Owen sebagai salah satu pelopor yang mencoba menyeimbangkan antara modal dan manusia.

Kini, Prabowo berada di panggung sejarah yang berbeda. Indonesia tentu bukan Eropa kala itu di abad ke-19 dengan semaraut kapitalismenya. Tapi indonesia adalah sebuah republik besar dengan ratusan juta jiwa. Alih-alih tantangan yang dihadapi tetap mirip: ketimpangan sosial, kemiskinan struktural, dan keterbelakangan gizi. Menariknya Prabowo memberikan jawaban sederhana sekaligus radikal: negara harus hadir di piring makan anak-anak, di bangku sekolah rakyat, dan di koperasi desa.
Tentu saja jawaban ini merupkan perwujudan Program-programnya yang bukan hanya sekadar janji kampanye, sebaliknya ini adalah upaya konkret agar rakyat kecil merasakan langsung kehadiran negara.

Makan Bergizi Gratis: Revolusi Dimulai dari Piring Anak Sekolah
Friedrich Engels, sahabat Marx, pernah menulis: “The condition of the working class is the real measure of a civilization.” Jika kita membaliknya ke konteks Indonesia, maka kondisi anak-anak sekolah adalah cermin peradaban bangsa. Dan Program Makan Bergizi Gratis menjawab tantangan itu.

Logikanya begini, seorang anak yang lapar tidak bisa fokus belajar, dan perut kosong adalah musuh kecerdasan. Dengan makanan bergizi, jutaan anak Indonesia mendapatkan kesempatan tumbuh sehat. Dan jika indonesia adalah negara yang besar maka sudah salaiknya bangsa ini mampu memberi makan rakyatnya. Frasa itu semacam menemukan relevansinya dalam program MBG.

Sekolah Rakyat: Pendidikan sebagai Jalan Kesetaraan

Robert Owen percaya pendidikan adalah pintu keluar dari lingkaran kemiskinan. Keyakinan itu lantas tidak hilang begitu sahaja. Owen mewujudkannya dengan mendirikan sekolah di New Lanark tentu dengan tujuan agar anak-anak buruh tidak lagi terjebak dalam kebodohan.

Prabowo melanjutkan warisan itu dalam skala nasional dengan perwujudan Sekolah Rakyat. Dengan kata lain negara tidak boleh membiarkan pendidikan menjadi hak eksklusif bagi yang mampu membayar mahal.

Ingatkah kita dengan petuah Ki Hajar Dewantara? bahwa “setiap orang adalah guru, dan setiap rumah menjadi sekolah.” Semangat itu yang kini diwujudkan negara dalam bentuk nyata. Sekolah Rakyat bukan hanya sebagai simbol melainkan bentuk kesetaraan dan ikhtiar agar pendidikan benar-benar berpihak pada rakyat banyak, bukan hanya pada mereka yang beruntung.

Koperasi Desa Merah Putih: Gotong Royong dalam Ekonomi

Owen percaya koperasi adalah jalan keluar dari kapitalisme individualis. Bung Hatta, Bapak Koperasi Indonesia, melanjutkan gagasan itu dengan tegas: “Koperasi adalah usaha bersama untuk memperbaiki nasib penghidupan berdasarkan tolong-menolong.”

Prabowo mencoba menghidupkan kembali warisan itu lewat Koperasi Desa Merah Putih. Jika Koperasi Merah Putih ini menjadi jembatan penghubung ke Sekolah Rakyat, koperasi ini berfungsi ganda: memperkuat ekonomi desa sekaligus mendukung pendidikan anak-anak. Di sinilah kita melihat kesinambungan sejarah. Owen menanam benih koperasi, Hatta menyiraminya, dan Prabowo mencoba membuatnya kembali berbuah dalam konteks abad ke-21.

Dari Utopia ke Kenyataan

Perbedaan Owen dan Prabowo terletak pada skala dan legitimasi. Owen adalah industrialis yang bereksperimen dalam satu komunitas; sedangkan Prabowo adalah kepala negara yang mengimplementasikan kebijakan dalam skala nasional. Tetapi esensinya sama: keyakinan bahwa kesejahteraan manusia adalah dasar dari produktivitas. Owen melakukannya di New Lanark, Prabowo melakukannya di republik sebesar Indonesia.

“Real generosity toward the future lies in giving all to the present.” Dan program Prabowo adalah bentuk kemurahan hati itu: investasi untuk masa depan bangsa lewat tindakan nyata di masa kini.

Sejarah yang Berulang, Tapi Maju

Jika sejarawan kerap mengatakan sejarah itu spiral: berulang, akan tetapi ia selalu bergerak maju atawa jika dulu Owen dicap utopis karena ingin memberi makan buruh dan mendidik anak-anak, maka Prabowo menunjukkan bahwa utopia itu bisa menjadi kenyataan bahkan dalam bentuk kebijakan negara sekaligus
Disinilah jejak panjang sejarah itu: dari Owen di Skotlandia, ke Bung Hatta dengan koperasinya, ke Soekarno dengan nation and character building-nya, pada Prabowo dengan program makan bergizi dan sekolah rakyatnya.

Utopia yang Menjejak

Pada akhirnya sejarah akan mencatat: di awal pemerintahannya, Prabowo tidak hanya bicara pertumbuhan ekonomi atau pembangunan infrastruktur, sebaliknya ia memulai dari hal yang paling dasar — manusia. Ia membangun dari piring makan, dari papan tulis, dari koperasi desa.
Owen pernah berkata bahwa manusia dibentuk oleh lingkungannya. Pun hari ini Prabowo sedang berusaha menciptakan lingkungan yang sehat, cerdas, dan gotong royong.

Bila kelak generasi muda yang lahir dari kebijakan ini tumbuh lebih sehat, lebih terdidik, dan lebih percaya diri, maka kelak sejarah yang berbentuk spiral itu akan menulis bahwa Indonesia pernah memilih jalan yang benar. Dan jalan itu, meski dulu dianggap utopis, kini menjejak di tanah air sendiri!

Oleh: Mohamad Pakaja