POROSNEWS.ID, Jakarta – “Negara harus hadir untuk memastikan setiap warga negara dapat berteduh di bawah atap yang layak.” Prinsip dasar yang indah, tetapi di Indonesia, ia masih lebih sering menjadi cita-cita ketimbang kenyataan.
Kabar bahwa Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman Maruarar Sirait menaikkan kuota rumah subsidi pekerja dari 20.000 menjadi 50.000 unit patut diapresiasi. Langkah ini sejalan dengan tingginya permintaan, terutama dari kalangan pekerja berpenghasilan rendah (MBR). Kerja sama dengan BP Tapera dan Kementerian Ketenagakerjaan juga memberi sinyal bahwa pemerintah ingin mengintegrasikan kebijakan pembiayaan dan penyediaan perumahan.
Namun, di balik kabar baik ini, kita perlu mengajukan pertanyaan yang lebih mendasar: apakah kebijakan menaikkan kuota benar-benar mampu mengatasi krisis perumahan struktural di Indonesia? Atau, seperti banyak kebijakan sebelumnya, ia hanya akan menjadi tambalan sementara di atas lubang yang terus melebar?
Konteks Kebijakan dan Masalah yang Tak Kunjung Purna, Indonesia saat ini menghadapi backlog perumahan yang besar. Berdasarkan data Kementerian PUPR, backlog kepemilikan rumah per 2023 mencapai sekitar 12,7 juta unit. Artinya, ada jutaan keluarga yang belum memiliki rumah layak huni. Angka ini belum menghitung backlog kualitas—rumah yang dimiliki tetapi tidak layak secara fisik atau tidak terhubung dengan infrastruktur dasar seperti air bersih, sanitasi, dan listrik.
Menteri Maruarar Sirait, yang dikenal sebagai figur politik dengan gaya blusukan dan komunikasi publik yang lugas, mencoba memberi sinyal bahwa kementeriannya tidak hanya mengurus angka, tapi juga mengurus akses. Kerja sama dengan BP Tapera diharapkan memperluas pembiayaan, sementara kolaborasi dengan Kemenaker ditujukan agar pekerja formal lebih mudah mengakses rumah bersubsidi.
Sayangnya, di sinilah masalah pertama muncul: lebih dari separuh pekerja di Indonesia adalah pekerja informal. Mereka tidak terdaftar dalam BPJS Ketenagakerjaan atau BP Tapera, dan akibatnya tidak masuk dalam skema pembiayaan resmi perumahan subsidi.
Kenaikan kuota rumah subsidi pekerja menjadi 50.000 unit memang terdengar seperti kabar baik. Namun, kebijakan ini masih belum menjawab akar masalah yang membuat jutaan warga Indonesia, terutama di perkotaan, sulit memiliki rumah layak huni. Setidaknya ada lima masalah mendasar yang selama ini belum terselesaikan.
Pertama, akses kredit yang tertutup bagi pekerja informal. Sekitar 59% angkatan kerja Indonesia berada di sektor informal (BPS, 2024). Mereka tidak punya slip gaji atau riwayat kredit formal, sehingga sulit mengakses fasilitas Kredit Pemilikan Rumah (KPR) bersubsidi. Sebuah keluarga di Tambora, Jakarta Barat, yang bekerja sebagai pedagang kaki lima, misalnya, memenuhi syarat penghasilan untuk KPR subsidi, namun ditolak bank karena tidak memiliki bukti penghasilan formal (Kompas.com, 15 Mei 2024). Masalah ini membuat banyak pekerja miskin perkotaan terjebak menyewa kamar petak sempit seumur hidup.
Masalah kedua, harga tanah dan rumah yang melampaui daya beli. Laju kenaikan harga tanah di wilayah Jabodetabek mencapai rata-rata 8–12% per tahun (Bank Indonesia, 2023), jauh di atas kenaikan upah minimum yang hanya 3–5% per tahun. Fenomena ini juga didorong oleh spekulasi pengembang dan investor besar. Sebagai ilustrasi, di Bekasi, harga rumah tapak sederhana yang pada 2015 masih di kisaran Rp180 juta kini sudah tembus Rp350 juta—jauh di atas batas harga rumah subsidi (Tempo.co, 7 April 2024). Harga tanah di Kabupaten Bogor naik 300% dalam lima tahun terakhir setelah pengumuman proyek infrastruktur baru (Tempo.co, 5 Mei 2024). Akibatnya, rumah yang terjangkau semakin menjauh dari pusat kota, memaksa pekerja melakukan perjalanan jauh setiap hari. Masyarakat lokal yang tadinya bisa membeli tanah kini terpinggirkan.
Ketiga, minimnya penyediaan rumah untuk pekerja rentan dan masyarakat miskin perkotaan. Program rumah subsidi umumnya ditujukan bagi pekerja formal dengan penghasilan tetap. Kelompok miskin perkotaan yang bekerja serabutan atau sebagai buruh harian nyaris tidak tersentuh. Kasus di Kampung Akuarium, Jakarta Utara, menunjukkan bagaimana warga yang kehilangan rumah akibat penggusuran harus menunggu bertahun-tahun sebelum mendapatkan hunian layak (BBC News Indonesia, 10 Juni 2023). Meski pada akhirnya dibangun hunian susun oleh Pemprov DKI, banyak warga di daerah lain tidak seberuntung itu.
Dan terakhir, tumpang tindih regulasi dan lemahnya tata kelola perumahan. Penyediaan rumah rakyat sering tersandung masalah koordinasi lintas kementerian dan pemerintah daerah. Kasus di Makassar, misalnya, proyek rumah susun sewa untuk pekerja terhenti lebih dari dua tahun karena sengketa lahan antara pemerintah kota dan pengembang (Tribun-Timur.com, 14 Februari 2024). Ketidakjelasan ini membuat ribuan unit rumah mangkrak, sementara daftar tunggu penerima manfaat terus menumpuk.
Kelima masalah ini saling terkait, menciptakan lingkaran setan yang sulit diputus jika kebijakan perumahan hanya fokus pada penambahan kuota tanpa pembenahan struktur pembiayaan, pengendalian harga tanah, dan reformasi tata kelola.
Kuota Bukan Jawaban Tunggal
Kebijakan menaikkan kuota memang memberi kesan responsif, tetapi ia juga berpotensi mengalihkan fokus dari reformasi struktural yang lebih mendesak.
Kita perlu bertanya : Aapakah 50.000 unit rumah ini benar-benar akan ditempati oleh mereka yang paling membutuhkan? Apakah rumah-rumah ini dibangun di lokasi yang terhubung dengan infrastruktur dan peluang kerja? Apakah pekerja informal, yang paling rentan terhadap krisis perumahan, akan ikut menikmati manfaatnya?
Tanpa reformasi pembiayaan yang mencakup pekerja informal, tanpa pengendalian harga tanah, dan tanpa standar kualitas yang tegas, peningkatan kuota hanya akan menjadi headline politik, bukan solusi berkelanjutan.
Untuk mengubah kebijakan kuota menjadi langkah strategis di masa depan, kita perlu mengubah model kebijakan berdasarkan persoalan mendasar yang terpetakan di atas.
Dalam jangka pendek, perlu dilakukan perluasan skema pembiayaan rumah subsidi agar mencakup pekerja informal melalui mekanisme tabungan mikro atau koperasi perumahan. Koperasi Merah Putih bisa mengambil peran dalam memfasilitasi pekerja informal untuk memperoleh akses kredit. Kedua, perlu pengetatan pengawasan agar rumah subsidi benar-benar dihuni oleh pembeli, bukan spekulan. Pembangunan rumah subsidi juga harus dipastikan berada dekat pusat ekonomi atau memiliki transportasi publik yang memadai.
Pada level jangka menengah, pemerintah harus menerapkan kebijakan pengendalian harga tanah di kawasan perkotaan untuk mencegah spekulasi. Ketegasan seperti ini sangat dibutuhkan agar tidak lagi ada intervensi swasta yang hanya menguntungkan segelintir orang tetapi mengorbankan amat sangat banyak warga negara. Ketegasan ini mencerminkan konsistensi pemerintah dalam menjalankan amanat Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945, yakni “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.” Pemerintah juga wajib meningkatkan standar kualitas rumah subsidi, termasuk akses ke fasilitas umum. Dengan begitu, anggaran yang digelontorkan untuk membangun rumah subsidi tidak terkesan hanya sekedar menggugurkan kewajiban, tetapi bermanfaat bagi masyarakat dalam waktu panjang.
Rumah sebagai Hak, bukan Privilege
Jika sungguh-sungguh dijalankan, upaya-upaya tersebut menunjukkan kegigihan pemerintah dalam membangun sistem perumahan nasional berbasis hak, di mana setiap warga negara dijamin haknya atas hunian layak.
Rumah bukan sekadar bangunan. Ia adalah fondasi dari kehidupan yang bermartabat. Di dalamnya, anak-anak belajar, keluarga tumbuh, dan komunitas terbentuk. Ketika jutaan warga negara tidak memiliki rumah layak, itu bukan sekadar masalah pasar—itu adalah kegagalan negara.
Kebijakan menaikkan kuota rumah subsidi pekerja adalah langkah maju, tetapi ia hanya akan menjadi langkah besar jika diiringi reformasi struktural yang memastikan inklusivitas, keterjangkauan, dan kualitas. Jika tidak, kita hanya akan mengulang siklus lama: membangun banyak rumah, tapi tetap meninggalkan jutaan warga di luar pintu.
Indonesia membutuhkan visi yang lebih besar: bahwa suatu hari, kita bisa berkata tanpa ragu, setiap warga negara—apapun pekerjaannya, dimanapun ia tinggal—memiliki hak yang nyata atas rumah layak huni.
Mari kita dukung terus pemerintahan Presiden Prabowo dan Wakil Presiden Gibran, melalui menteri-menterinya yang terus bekerja keras, untuk membangun Indonesia yang Adil dan Makmur, termasuk dalam pemenuhan hak warga negara atas rumah yang layak.