Kedaulatan Rakyat Melalui Partai PRIMA : Tinjauan Mengenai Verifikasi Partai Peserta Pemilu, Parliementary Threshold, Pendanaan Partai, Dan Proporsional Tertutup

Berita Utama, Politik557 Dilihat

POROSNEWS.ID, Jakarta – Tulisan ini adalah sari dari paper yang disusun oleh tim DPP PRIMA yang terdiri dari Rizki Arifianto, Rinaldi Sutan Sati, Excel Brayen Sandoval, I Gusti Agung Arya Dhanyananda juga masukan peserta Focus Group Discussion (FGD) yang diselenggarakan 22 Maret 2025 di Kantor Dewan Pimpinan Pusat Partai Rakyat Adil Makmur (DPP PRIMA) di Jakarta Pusat. Perihal tulisan ini terkait Pemilu 2029 depan ketika Parlementary Treshold dan Presiden Treshold menjadi 0% akibat dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK), menjadi tanggapan dan usulan resmi Partai PRIMA kepada Pemerintahan Prabowo-Gibran.

Meniadakan Verifikasi Faktual

Pengaturan tentang Verifikasi Partai politik tertuang dalam (PKPU) Nomor 4 Tahun 2022. Peraturan komisi pemilihan umum ini mengatur syarat-syarat partai politik peserta pemilu sebagai berikut :
berstatus badan hukum
memiliki kepengurusan diseluruh provinsi memiliki kepengurusan di 75 persen jumlah kabupaten/kota;
memiliki kepengurusan di 50 persen jumlah kecamatan;
menyertakan paling sedikit 30 persen keterwakilan perempuan di tingkat pusat;
memiliki anggota sekurang-kurangnya 1.000 orang atau 1/1.000 dari jumlah penduduk di tingkat provinsi yang dibuktikan dengan kartu tanda anggota (KTA);
mempunyai kantor tetap untuk kepengurusan partai politik di tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota sampai tahapan terakhir Pemilu;
menyampaikan nama, lambang, dan tanda gambar partai politik ke KPU; dan
menyerahkan nomor rekening atas nama partai politik pada tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota.

Berdasarkan persyaratan tersebut partai politk peserta pemilu melakukan pendaftaran melalui Sistem Informasi Partai Politik (SIPOL) dengan melampirkan dokumen-dokumen pada saat pendaftaran sebagai berikut :
Berita negara yang menyatakan bahwa partai politik terdaftar sebagai badan hukum yang dikeluarkan oleh Percetakan Negara RI,
Salinan AD/ART yang disahkan Menteri HukumdanHakAsasiManusia (HAM)
Keputusan pimpinan Partai Politik tentang kepengurusan Partai Politik di tingkat pusat yang disahkan oleh Menteri Hukum dan HAM
Keputusan pimpinan partai politik tentang kepengurusan tingkat provinsi, tingkat kabupaten/kota, dan tingkat kecamatan sesuai AD/ART
Surat pernyataan terkait persyaratan pendaftaran partai politik
Surat keterangan tentang kantor tetap pengurus partai politik di semua tingkatan
Bukti keanggotaan partai politik berupa KTA yang dilengkapi dengan KTP-el atau Kartu Keluarga,
Surat keterangan tentang partai politik sebagai badan hukum yang memuat pendaftaran nama, lambang, dan tanda gambar dari Menteri Hukum dan HAM nama, lambang, dan tanda gambar partai politik berwarna
Bukti kepemilikan nomor rekening atas nama partai politik disetiap tingkatan
Aturan-aturan ini merupakan pasal yang menjadi persoalan saat Partai Rakyat Adil Makmur (PRIMA) akan mengikuti Pemilu 2024 lalu. PRIMA dinyatakan merupakan pihak yang dirugikan dalam proses verifikasi saat itu, dan PTUN Jakarta Pusat memutuskan; mengabulkan gugatan Partai Prima terhadap Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk menunda pelaksanaan Pemilu 2024. Hal ini berkaitan dengan status partai Prima yang Tidak Memenuhi Syarat (TMS) untuk menjadi partai calon peserta pemilu, sehingga kemudian Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memutuskan bahwa PRIMA merupakan pihak yang dirugikan dalam proses verifikasi. Dalam proses selanjutnya, gugatan PRIMA kandas di tingkat Mahkamah Agung. Berpedoman kepada pengalaman ini belum terlambat masanya, partai ini perlu melakukan kampanye sistem verifikasi partai politik yang tidak “menyulitkan” serta tidak tergantung pada mekanisme perangkat elektronik yang nyata-nyata membuat gagalnya partai yang tidak memiliki akses kekuasaan untuk melalui tahapan berikutnya; dinyatakan memenuhi syarat untuk mengikuti Pemilu.

Dengan kerumitan ini ditambah pasca putusan MK Nomor 116 yang menjadikan 0% PT dikhawatirkan verifikasi Parpol akan menjadi lebih sulit lagi, sehingga harapan rakyat yang akan membentuk sebuah Parpol baru tidak dapat terealisasikan. Padahal menurut data jumlah masyarakat yang berpartai politik hanya sebesar tidak lebih dari 40% jumlah DPT masyarakat.kemudian data menunjukan hanya sebesar 25% persen pemilih yang sudah menentukan pilihannya, sementara 75% persen lainnya merupakan pemilih mengambang yang belum menentukan parpol yang akan dipilih pada pemilu.

Meniadakan verifikasi faktual melalui pengujian pasal 173 ayat (2) UU Pemilu 2017 sangat perlu dilakukan, sebagai sikap yang menolak penyempitan ruang demokrasi. Setiap orang dapat membangun struktur partainya dimanapun berada, tanpa perlu dlakukan verifikasi faktual. Karena :
Partai yang mendaftar sebagai peserta pemilu sama sekali tidak dibiayai oleh negara. Maka, negara seharusnya tidak menyampuri urusan struktur partai yang akan didaftarakan ke pelaksana pemilu;
Partai yang mendaftar sebagai peserta pemilu merupakan perwujudan dari kedaulatan rakyat, serta bersandar pada kebebasan bersyarikat dan berpendapat sebagaimana diatur dalam UUD 1945;
Pembangunan partai-partai baru untuk ikut menjadi peserta pemilu, bisa jadi sebagai alat alternatif untuk mengecilkan jumlah golput serta menekan angka apatis politik terhadap pemerintah dan menjadi alat baru bagi mereka yang tidak memiliki kesamaan visi dan misi pada parta-partai yang telah dinyatakan lolos sebagai peserta pemilu.

Mengganti Ambang Batas Parlemen dengan Ambang Batas Fraksi
Teori Laakso dan Taagepera memberikan alat analisis yang objektif dalam mengevaluasi dampak parliamentary threshold terhadap sistem kepartaian. Dalam konteks Indonesia, parliamentary threshold yang lebih tinggi memang dapat menyederhanakan sistem kepartaian, tetapi berpotensi menghilangkan representasi politik dari partai kecil dan suara pemilihnya. Oleh karena itu, dalam menetapkan ambang batas parlemen di masa depan, penting untuk mempertimbangkan keseimbangan antara efektivitas pemerintahan dan prinsip proporsionalitas dalam pemilu.

Namun jika tujuan dari penerapan ambang batas parlemen adalah menyederhanakan sistem kepartaian, maka menyederhanakan sistem kepartaian di DPR tidak selalu identik dengan mengurangi jumlah partai politik di DPR. Sebab, sistem kepartaian tidak selalu ditentukan oleh berapa jumlah partai politik di DPR, melainkan oleh berapa besar konsentrasi kursi ke partai politik di DPR. Maksudnya, semakin besar jumlah kursi yang terkonsentrasi ke sedikit partai politik, sistem kepartaian semakin sederhana; sebaliknya semakin besar jumlah kursi yang menyebar ke banyak partai politik, sistem kepartaian semakin ekstrim. Salah satu cara untuk mengukur konsentrasi kursi partai politik adalah dengan menggunakan Indeks ENPP (effective number of parties in parliament) yang dirumuskan oleh Laakso dan Taagepara.
Cara lain untuk dapat tetap menjaga stabilitas sistem presidensil di Indonesia dengan jumlah partai politik yang banyak tetapi tetap efektif dan dengan tidak menegasikan hak-hak sipil politik rakyat yaitu dengan melakukan penambahan jumlah anggota didalam fraksi dan melakukan pengabungan fraksi didalam parlemen, sehingga jumlah fraksi tetap tapi jumlah anggota dalam satu fraksi ditambah, hal ini dapat menghindarkan kita dari hilangnya suara rakyat yang sudah memilih wakilnya namun wakilnya tersebut tidak dapat duduk di parlemen karena jumlah suara sah nasional tidak mencapai PT.

Mengenai ambang batas parlemen harus dimaknai sebagai ambang batas “pengelompokan anggota DPR berdasarkan konfigurasi partai politik hasil pemilihan umum” (selanjutnya disebut sebagai ambang batasfraksi). Pemaknaan tersebut bertujuan untuk mengatasi paradoks antara prinsip proporsionalitas dan tujuan penyederhanaan partai politik. Maka untuk menjamin nilai demokrasi konstitusional dalam pemilihan umum dalam hal ini prinsip proporsionalitas dan tujuan penyederhanaan partai politik, diperlukan “rekayasa politik” melalui undang-undang yaitu berupa “gabungan anggota partai politik yang tidak dapat memenuhi syarat pembentukan 1 (satu) fraksi”. Rekayasa a quo dapat mengadopsi ketentuan Pasal 325 dan Pasal 374 UU tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD yang tidak mengenal ambang batas parlemen sebagaimana diatur dalam Pasal 414 ayat (1) Undang-Undang tentang Pemilihan Umum, melainkan ambang batas fraksi,berikut ketentuannya :
Untuk mengoptimalkan pelaksanaan fungsi serta wewenang dan tugas DPRD kabupaten/kota serta hak dan kewajiban anggota DPRD kabupaten/kota, dibentuk fraksi sebagai wadah berhimpun anggota DPRD kabupaten/kota.
Setiap anggota DPRD kabupaten/kota harus menjadi anggota salah satu fraksi.
Setiap fraksi di DPRD kabupaten/kota beranggotakan paling sedikit sama dengan jumlah komisi di DPRD kabupaten/kota.
Partai politik yang jumlah anggotanya di DPRD kabupaten/kota mencapai ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) atau lebih dapat membentuk 1 (satu) fraksi.

Dalam hal partai politik yang jumlah anggotanya di DPRD kabupaten/kota tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), anggotanya dapat bergabung dengan fraksi yang ada atau membentuk fraksi gabungan.
Dalam hal tidak ada satu partai politik yang memenuhi persyaratan untuk membentuk fraksi sebagaimana dimaksud pada ayat (3), maka dibentuk fraksi gabungan.

Jumlah fraksi gabungan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6) paling banyak 2 (dua) fraksi.
Partai politik sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) harus mendudukkan anggotanya dalam 1 (satu) fraksi.
Rekayasa politik sebagaimana diatur dalam ketentuan tersebut, bertujuan untuk mewujudkan penyederhanaan partai politik secara alamiah dengan meminimalisir jumlah suara yang tidak dapat dikonversi menjadi kursi di parlemen.
Berikut penyesuaiannya jika diberlakukan pada DPR: (dalam Undang-Undang tentang Pemilihan Umum).
Partai Politik Peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara paling sedikit 4% (empat persen) dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan fraksi di DPR.
Dalam hal partai politik yang tidak memenuhi ambang batas perolehan suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), anggotanya di DPR dapat bergabung dengan fraksi yang ada atau membentuk fraksi gabungan.

Pembiayaan PartaiPolitik

Partai politik saat didirikan tidaklah mendapatkan dana dari pemerintah. Sehingga, pembangunannya yang memerlukan banyak struktur serta keanggotaan di daerah-daerah, akan menggiring kepada tindakan manipulatif dan korupyang menyebabkan terjadinya kongkalikong antara partai yang akan diverifikasi dengan lembaga penyelenggara pemilu. Indikator untuk membuktikan ini sangat sederhana, betapa partai-partai baru yang dinyatakan lolos verifikasi faktual, saat pemilu tidak memiliki calon legislatif atau bahkan saat setelah dinyatakan lolos verifikasi faktual pun tidak ditemukan lagi alamat kantor dan kepengurusannya. Hal ini yang menjadi alasan bahwa, verifikasi faktual untuk menjadi peserta Pemilu tidak diperlukan dan akan merugikan partai-partai yang tidak bisa memanipulasi keadaan serta tidak memiliki resources cukup untuk melakukan tindakan korup.

Idealnya konsep pembiayaan parpol hanya bersumber pada 2 hal yaitu pertama anggota (iuran dan usaha mandiri partai), kedua adalah sumbangan dari negara. Membatasi 2 sumber ini adalah untuk menghindari korupsi yang cenderung dilakukan oleh kader parpol yang sudah menduduki jabatan-jabatan di pemerintahan dimana mereka dipaksa untuk memberikan sumbangan kepada parpol dalam jumlah yang besar dan untuk membuat parpol lebih mandiri sumbangan-sumbangan mengikat dari luar harus dihindari.

Pembiayaan partai politik adalah elemen penting dalam demokrasi yang sehat. Sumber dana yang jelas, regulasi yang ketat, serta transparansi dalam pelaporan keuangan sangat diperlukan untuk mencegah korupsi politik dan konflik kepentingan. Partai politik harus berkomitmen untuk mengelola keuangannya secara akuntabel, sementara pemerintah dan masyarakat perlu memperkuat sistem pengawasan agar pembiayaan partai tidak menjadi celah bagi praktik politik kotor. Dengan perbaikan sistem pembiayaan yang lebih transparan dan adil, demokrasi yang lebih sehat dan berkualitas dapat terwujud.

Proporsional Tertutup

Sistem proporsional terbuka tentunya menenggelamkan kesempatan bagi partai-partai ideologis dan progresif seperti Partai PRIMA untuk memenangkan pemilu. Beralih ke Proporsional Tertutup adalah cara mengembalikan kedaulatan rakyat agar disalurkan melalui partai politik yang bercorak demokrasi kerakyatan.

Satu hal yang menjadi ciri prinsip demokrasi ialah tidak adanya kekuasaan absolut selain kedaulatan rakyat. Maka demi mewujudkan pandangan tentang kedaulatan rakyat melalui partai politik, dibutuhkan suatu konsep demokrasi kerakyatan yang merupakan pengejawantahan sila keempat Pancasila yang akan menunjang mekanisme kepartaian.
Dalam hal proporsional tertutup, demokrasi kerakyatan yang dimaksud adalah bahwa penentuan kandidat calon merupakan hasil musyawarah anggota partai. Hal ini adalah untuk menghindari budaya ”tiket” pencalonan yang biasa menjadi bancakan elit-elit pengurus partai. Mekanisme ini akan mendorong ketergabungan masyarakat sebagai anggota partai yang diminati. Dengan demokrasi kerakyatan dalam mekanisme kepartaian ini juga akan menciptakan ruang anggota partai untuk melakukan protes kepada kandidat yang terpilih apabila dalam menjalankan tugasnya sebagai anggota dewan tidak memperjuangkan program-program partai.

Peran aktif negara diperlukan untuk memastikan berjalannya demokrasi kerakyatan di setiap partai peserta pemilu. Peran negara dalam hal ini bisa berbentuk syarat kepada setiap peserta pemilu untuk menyetorkan berkas AD/ART partai yang membuktikan partainya berlandaskan Pancasila dan berkas musyawarah anggota yang memuat nama-nama kandidat calon yang akan ditugaskan ketika partainya memenangkan kursi anggota dewan. Satu hal yang menjadi catatan adalah diperlukan adanya satu aturan yang melindungi seorang anggota dewan ketika dihadapkan dengan kondisi antara kepentingan negara dengan kepentingan partai yang saling bertentangan dalam perannya menjalankan tugas sebagai anggota dewan.

Tim PRIMA