Gagasan Persatuan Nasional Ditengah Utak-Atik Koalisi Pilres 2024

Berita Utama, Politik259 Dilihat

POROSNEWS.ID – Koalisi partai politik untuk Pilpres 2024 tampaknya masih dinamis dengan adanya saling bargain untuk mendapatkan posisi bakal calon wakil presiden. Dari ketiga koalisi bakal calon presiden, belum ada satupun yang memastikan bakal calon wakilnya. Ketua Umum Partai Rakyat Adil Makmur (PRIMA), Agus Jabo Priyono mengatakan ada kebuntuan dalam koalisi yang sebenarnya diakibatkan oleh ketentuan presidential treshold yang dibuat oleh partai-partai itu sendiri.

Dalam situasi tersebut, kita menyaksikan satu peristiwa terhubung lain yang menghebohkan jagat politik. Dua politisi nasional yang pernah berseberangan di masa lalu bertemu dan mengangkat “Persatuan Nasional” sebagai bagian dari tema peristiwa. Gagasan “Persatuan Nasional” yang terutarakan itu sangat sedikit didiskusikan. Celakanya, terlepas apapun alasan atau motifnya, sebagian kalangan justru menjadikan gagasan itu sebagai bahan ejekan belaka.

Mungkin bagian terbesar dari Bangsa ini tak lagi mengingat, kapan terakhir politik yang menyertakan gagasan kebangsaan didiskusikan secara mendalam. Sukarno memiliki tradisi untuk melemparkan pemikiran-pemikirannya, konsepsi-konsepsinya, bukan saja ke kalangan politisi tapi juga kepada rakyat pada umumnya dengan pilihan bahasanya yang populer. Suharto tidak melakukannya, karena baginya berbagai konsepsi itu menjadi urusan para teknokrat. Rakyat cukup menerima saja.

Pada sebuah pidatonya di tahun 1956, Bung Karno menyampaikan kutipan dari Presiden Abraham Lincoln yang berbunyi “Kita lebih dahulu harus mengetahui apakah kita ini, di manakah kita ini, dan ke manakah kita ini, sebelum berkata apa yang harus kita perbauat dan bagaimana kita harus berbuat.”

Kita dapat melihat gagasan Persatuan Nasional sesungguhnya berjangkar pada pertanyaan-pertanyaan di atas. Paling tidak pada pertanyaan “di mana kita” dan “ke mana kita” seharusnya menjadi topik diskusi yang lebih serius, apabila pertanyaan “apakah kita” dirasa sudah cukup terjawab. Dalam konteks bernegara kita (bangsa Indonesia) adalah bangsa merdeka yang memiliki cita-cita sesuai dengan untaian kalimat sakral pada alinea keempat Pembukaan UUD 1945.

Situasi dunia sedang berubah dengan cepat menuju keteraturan formasinya yang baru. Pengaruh negara super power Amerika Serikat sedang jatuh menyusul kejatuhannya di lapangan ekonomi. Paralel dengan itu kekuatan-kekuatan baru dunia sedang tumbuh dan memainkan peran yang semakin besar. Pesan-pesan dari para kepala negara dalam Pertemuan BRICS plus di Afrika Selatan yang baru lalu bisa menjelaskan arti penting “perubahan cepat” dimaksud.

Situasi dunia selalu berdampak pada situasi nasional, sementara di dalam negeri sendiri kita masih menghadapi berbagai persoalan, ada yang sama dan ada pula yang khas atau berbeda dengan persoalan yang dialami bangsa-bangsa lain di dunia. Kemiskinan, ketimpangan sosial, pengangguran, keterbelakangan budaya dan sumber daya manusia, eksploitasi sumber daya alam, kerusakan lingkungan hidup, politik tanpa jiwa kerakyatan, dan lain sebagainya.

Pemilu liberal sediakan arena bagi beragam aksi kontestan dan para pendukungnya, mulai dari adu gagasan, adu kesalehan,  adu gosip, adu fitnah, sampai saling sikut dan saling sepak sebagaimana yang dikatakan Presiden Jokowi.

Padahal, memperhatikan bahwa masalah-masalah yang dihadapi bangsa Indonesia dengan tantangan dinamika global yang nyata (bukan dongeng atau fiksi) di ats adalah serius, maka gagasan persatuan nasional patut didiskusikan secara serius pula. Pesan yang diperlukan tidak lagi klise, misalnya: “meski beda pilihan, tetap menjaga persatuan”. Indonesia membutuhkan pembaruan pesan persatuan yang lebih membumi untuk menjawab masalah-masalah nyata yang diungkap tadi.  

Untuk itu kearifan falsafah gotong royong dan musyawarah mufakat dapat menjadi panduan bagi susunan persatuan nasional ke depan. Suatu terobosan politik yang komprehensif menjadi tantangan untuk menjawab masalah-masalah tersebut dan itu hanya bisa dicapai lewat suatu perumusan kolektif.

Sebagai referensi, di tahun 1957, ketika menghadapi ketidakpastian sistem parlamenter dan kebuntuan konstituante merumuskan konstitusi baru, Bung Karno mengajukan Konsepsi Presiden Republik Indonesia yang menjadi terobosan penting saat itu. Selain mendorong terbentuknya kabinet gotong royong yang mengikutsertakan perwakilan seluruh partai politik, dibentuk juga Dewan Nasional yang berisikan perwakilan dari seluruh sektor masyarakat, dari buruh, petani, militer, akademisi, pengusaha nasional, dan lain-lain. Dewan Nasional ini dipimpin langsung oleh Presiden dengan tugas sebagai “penghubung” antara kabinet pemerintahan dengan masyarakat luas.

Indonesia membutuhkan langkah-langkah politik terobosan. Pemilu 2024 hanya akan menghasilkan sesuatu yang bermanfaat bagi bangsa ini di tengah berbagai tantangan apabila ada keseriusan untuk mendiskusikan kembali “di mana kita” dan “ke mana kita” untuk menentukan “apa dan bagaimana” kita harus berbuat. (Dilansir Berdikarionline.com).