Disorientasi Kultural Indonesia : Sejarah Politik Yang Membunuh Makna

POROSNEWS.ID, Jakarta – Di tengah arus digital yang kian deras dan gelombang globalisasi yang tak henti menggempur, bangsa Indonesia seperti berdiri di persimpangan yang kabur. Budaya kini lebih sering tampil sebagai tontonan ketimbang tuntunan, lebih akrab dalam bentuk dekoratif tinimbang reflektif. Kita menyaksikan parade warna dan suara yang memukau, tetapi kehilangan gema batin yang dahulu membentuk keberadaan kita sebagai bangsa.

Disorientasi kultural bukanlah sekadar kehilangan tradisi, melainkan terputusnya arah dan kepekaan dalam membaca makna di balik simbol, narasi, dan nilai yang dahulu menyusun kehidupan bersama. Ini tampak dalam banyak hal: ketika upacara adat dijalankan tanpa pemahaman akan filosofi di baliknya; ketika generasi muda fasih meniru gaya hidup global, namun canggung dan terbata saat diminta, bahkan hanya, menjelaskan arti gotong royong; ketika budaya hanya hadir sebagai konten, bukan kesadaran. Kita melihat keberlimpahan bentuk, namun kekosongan isi. Inilah disorientasi yang bekerja secara halus, perlahan, tetapi merata.

Namun di balik segala kegaduhan zaman, sesungguhnya yang genting adalah keheningan kita memahami diri. Maka untuk mengurai simpul masalah ini, kita harus menelusuri akar sejarahnya yang panjang dan berliku.

Kolonialisme dan Pemutusan Ingatan

Penjajahan bukan hanya soal penguasaan atas tanah dan tubuh, tetapi juga perebutan atas makna dan memori. Sejak awal kedatangannya, kolonialisme membongkar tatanan budaya lokal: bahasa ibu ditundukkan oleh tata bahasa penguasa, sistem pengetahuan tradisional dilecehkan oleh ilmu eksakta Eropa, dan pusat-pusat nilai—pesantren, keraton, hutan adat—dipreteli kewibawaannya (Edward Said, 1993).
Lebih dari itu, kolonialisme menciptakan struktur hierarki budaya yang secara halus menanamkan inferioritas. Sistem pendidikan kolonial membentuk elite terdidik yang menjauh dari akar budaya sendiri, menciptakan jarak antara tradisi lokal dan modernitas yang dibawa Barat.

Pengetahuan lokal dianggap sebagai warisan masa lalu yang tak relevan dengan kemajuan. Dalam proses ini, generasi demi generasi dipisahkan dari sumber-sumber makna kolektif, hingga warisan budaya yang kaya menjadi asing di tanah sendiri.

Bahasa sebagai pembawa dunia makna turut direduksi perannya. Bahasa lokal yang sebelumnya menjadi pengikat kosmologi dan nilai, digeser oleh bahasa kolonial yang lebih pragmatis dan administratif. Ketika bahasa ibu tak lagi digunakan untuk berpikir atau menulis, maka cara melihat dunia pun ikut berubah. Dalam jangka panjang, hal ini membentuk cara berpikir generasi yang tak lagi akrab dengan simbolisme tanah airnya sendiri.

Lebih jauh, kolonialisme juga mengarsipkan budaya Indonesia dari sudut pandang luar. Banyak karya sastra, seni rupa, dan artefak budaya lokal yang dipelajari, dikategorikan, dan disimpan di museum-museum kolonial. Proses ini menciptakan jarak epistemik antara masyarakat dengan budayanya sendiri—budaya dipelajari sebagai objek antropologi, bukan dialami sebagai pengalaman eksistensial.

Tak kalah penting, kolonialisme menciptakan logika modernisasi yang timpang. Segala sesuatu yang tradisional dianggap lamban dan irasional, sementara yang datang dari Eropa diasosiasikan dengan kemajuan. Akibatnya, banyak komunitas lokal melepaskan identitasnya demi mengikuti narasi besar modernitas. Budaya tak lagi tumbuh dari akar sosial, melainkan dari keinginan untuk meniru yang dianggap lebih tinggi.

Pemutusan ingatan ini menjadi fondasi laten dari disorientasi kultural hari ini. Ketika makna tercerabut dari tanah kelahirannya, yang tertinggal hanyalah bentuk-bentuk kosong. Kita mungkin masih menari, menyanyi, dan berpakaian adat, tetapi makna-makna yang dulu mengikatnya telah pudar di dalam kabut sejarah yang tak sempat dijaga.

Orde Baru dan Penjinakan Budaya

Memasuki era Orde Baru, kebudayaan direkonstruksi dalam bingkai stabilitas dan pembangunan. Negara mengatur representasi budaya sedemikian rupa sehingga ia tampil indah di panggung protokol, namun bisu terhadap luka sejarah dan pertanyaan keadilan (Ariel Heryanto, 2006).

Di tangan Orde Baru, budaya dikemas menjadi bagian dari proyek nation branding. Seni pertunjukan daerah, pakaian adat, dan arsitektur tradisional direduksi menjadi elemen visual yang harus tampil dalam perhelatan-perhelatan resmi kenegaraan. Namun, ketika budaya dikurasi hanya demi estetika dan citra, maka makna filosofis dan reflektifnya ikut terhapus.

Sensor menjadi instrumen utama dalam mengendalikan ekspresi. Film, teater, sastra, bahkan lagu-lagu daerah yang memuat kritik sosial atau nilai-nilai alternatif dianggap sebagai ancaman. Pengawasan terhadap karya seni bukan semata-mata menjaga moralitas, tetapi menertibkan tafsir. Dalam iklim ini, budaya tidak diberi ruang untuk menjadi subversif atau membongkar ketimpangan, tetapi dituntut untuk menjadi penyambung lidah kekuasaan.

Lebih jauh, Orde Baru menciptakan narasi tunggal tentang kebangsaan yang mengabaikan kompleksitas identitas lokal. Budaya minoritas, tradisi yang tidak sesuai dengan citra “Indonesia modern”, perlahan dipinggirkan. Kebijakan asimilasi terhadap etnis Tionghoa, penyeragaman simbol-simbol nasional, dan marginalisasi narasi lokal adalah sebagian contoh dari homogenisasi identitas yang dijalankan secara sistematis.

Lembaga penyiaran seperti TVRI dijadikan alat penyebar wacana tunggal. Sinetron, iklan layanan masyarakat, dan program kebudayaan disesuaikan dengan visi pembangunan sentralistik. Tak ada ruang bagi keragaman tafsir, apalagi suara-suara pinggiran. Dalam masyarakat yang ditundukkan oleh narasi tunggal, kebudayaan berhenti menjadi ruang tafsir dan berubah menjadi museum berjalan—berkilau di luar, kosong di dalam.

Dalam lanskap seperti itu, budaya bukan lagi proses hidup yang dinamis dan reflektif, melainkan set dekor politik kekuasaan. Rakyat bukan lagi subjek kultural, melainkan penonton dalam panggung yang telah disusun skenarionya.
Reformasi dan Kebebasan yang Terfragmentasi
Reformasi membuka keran ekspresi, tetapi masih tidak menyediakan wadah nilai. Budaya menjadi arus liar dalam sungai algoritma dan logika pasar. Yang viral lebih penting dari yang bermakna, yang instan lebih menggoda ketimbang yang mendalam. Di era ini, seperti diungkapkan oleh Jean Baudrillard dalam Simulacra and Simulation (1994), kita hidup dalam dunia citra dan simulasi yang menggantikan realitas itu sendiri.

Pasca-Orde Baru, institusi-institusi budaya yang semestinya membimbing arah refleksi kolektif tidak kunjung terbentuk secara kuat. Banyak lembaga kebudayaan, komunitas seni, dan pusat kajian kultural tumbuh secara sporadis, namun kurang mendapat dukungan jangka panjang. Akibatnya, ekosistem budaya lebih ditentukan oleh daya tahan individu dan inisiatif komunitas, bukan oleh kebijakan struktural yang memadai.
Media sosial pun hadir sebagai arena baru ekspresi, namun sekaligus menjadi pisau bermata dua. Di satu sisi, ia membuka ruang bagi keberagaman suara. Namun di sisi lain, ia menjerumuskan kebudayaan ke dalam kontestasi atensi, di mana ekspresi dikomodifikasi, dan makna dikorbankan demi impresi. Kebudayaan berubah menjadi produk konten yang diproses dan dibuang cepat, seiring jari-jari yang bergerak cepat men-scroll video berdurasi pendek.

Seni dan kritik, yang dulu menjadi jantung kebudayaan progresif, kini sering diseret ke dalam ranah gimmick dan visualisasi semata. Instalasi yang menyentuh isu sosial bisa viral di Instagram, namun tidak menyentuh kesadaran publik yang lebih luas karena kehilangan konteks dan kedalaman. Budaya populer menjelma sebagai medan impresi, bukan ruang refleksi.
Di tengah semua ini, generasi muda menghadapi tantangan identitas yang tak kalah pelik. Mereka tumbuh dengan akses tak terbatas ke budaya global, namun miskin panduan untuk menafsirkan akar budayanya sendiri. Tanpa kerangka nilai yang memadai, mereka mudah terseret dalam konsumsi simbol tanpa pemaknaan. Mereka mengenakan batik karena tren, menyukai tarian tradisi karena viral, tapi belum tentu memahami akar sosial-historisnya.

Dengan hilangnya patronase budaya yang reflektif, masyarakat pun kehilangan figur-figur penuntun kultural. Yang dominan adalah influencer, bukan pemikir. Yang kuat adalah branding, bukan nilai. Dalam situasi seperti ini, kebebasan yang diperoleh justru menjadi ruang kosong yang membingungkan. Bukan karena ekspresi dilarang, tetapi karena tak ada arah yang ditawarkan. Maka fragmentasi pun terjadi—masing-masing berjalan sendiri, tak saling dengar, tak saling tafsir.

Pendidikan dan Pemisahan Budaya dari Pengetahuan

Di jantung peradaban mana pun, pendidikan adalah penghela nilai dan imajinasi kolektif. Namun di Indonesia, sistem pendidikan berjalan terpisah dari semangat kebudayaan. Kita lebih menekankan pada keterampilan pasar daripada permenungan nilai. Pelajaran seni dan budaya hanya hadir sebagai jeda, bukan inti.

Menurut Ki Hadjar Dewantara, pendidikan harus menumbuhkan “cipta, rasa, dan karsa”—tiga pilar yang seharusnya menjadi fondasi kebudayaan bangsa. Namun kini, pendidikan kita justru memisahkan logika dari estetika, pengetahuan dari kearifan. Dalam ruang kelas yang steril, tak terdengar lagi hikayat leluhur, petuah adat, atau puisi tanah air. Yang tumbuh adalah generasi yang cekatan secara teknis, tapi gamang secara etis dan simbolik.

Institusi pendidikan kehilangan kemampuannya membentuk warga yang berakar. Proses belajar mengajar kerap tidak memberi ruang bagi pengalaman budaya sebagai pengalaman hidup. Identitas dikonstruksi secara parsial—serba tergesa, serba teknis. Tak mengherankan bila budaya hanya dikenang saat perayaan, bukan dihayati dalam kehidupan sehari-hari.

Menuju Kebangkitan Kultural yang Berbasis Sejarah

Kebangkitan budaya Indonesia tidak bisa digantungkan pada jargon atau selebrasi seremonial. Ia harus bertolak dari tindakan nyata yang membumi—tindakan yang mengakar pada keseharian masyarakat, dan berpijak pada pemahaman sejarah yang jujur. Ini bukan proyek elite, tetapi kerja lintas komunitas yang saling belajar, saling merawat, dan saling menyulam kembali benang-benang makna yang pernah terputus.

Pertama, kita perlu membangun ruang-ruang budaya lokal yang bukan hanya berfungsi sebagai tempat pertunjukan, tapi sebagai pusat pembelajaran lintas generasi. Balai desa, rumah adat, sanggar, hingga ruang publik digital dapat menjadi tempat merawat memori, mempertemukan cerita lama dengan semangat baru. Pemerintah daerah dapat mengambil peran lebih aktif sebagai fasilitator, bukan hanya pelaksana proyek kebudayaan musiman.

Kedua, pendidikan budaya harus dihidupkan kembali bukan sekadar sebagai mata pelajaran, melainkan pendekatan lintas kurikulum. Sekolah bisa menjadi ruang pembelajaran tentang akar lokal: mengenalkan cerita rakyat, filosofi hidup nenek moyang, nilai gotong royong, serta seni tutur yang sarat makna. Kolaborasi antara guru, budayawan lokal, dan pelaku komunitas perlu difasilitasi.

Ketiga, perlu ada ekosistem pendukung bagi seniman dan pelaku budaya agar karya-karya mereka tidak hanya eksis di pusat kota atau galeri formal, tapi hidup di tengah masyarakat. Pemerintah dan sektor swasta dapat membuka program residensi budaya, dukungan produksi, hingga platform distribusi digital yang adil dan berkelanjutan.

Keempat, narasi sejarah harus dibuka dengan keberanian. Banyak luka kolektif bangsa yang masih tersembunyi dalam sunyi. Menghadirkan sejarah alternatif, suara minoritas, dan keberagaman narasi adalah bagian dari membangun budaya yang sehat dan inklusif. Museum, perpustakaan daerah, dan festival literasi bisa menjadi wahana untuk itu.

Terakhir, kita perlu merawat ruang-ruang tafsir budaya secara aktif—baik melalui diskusi publik, media komunitas, maupun seni partisipatif. Kebudayaan bukan warisan mati, melainkan percakapan yang terus bergerak. Dan percakapan itu harus hadir di kampung, di sekolah, di media sosial, di layar televisi, dan di rumah-rumah kita.

Kebangkitan kultural yang sejati tidak bersumber dari atas ke bawah, tetapi dari bawah ke dalam: dari kesadaran yang tumbuh perlahan, dari pengalaman bersama yang bermakna, dan dari keberanian untuk menghidupkan kembali makna di balik simbol-simbol yang telah lama kita kenakan tanpa kita pahami.

Maka, kebangkitan kultural bukan sekadar proyek institusional, melainkan laku eksistensial: keberanian untuk menyelami kenyataan, mengambil sikap, dan menciptakan nilai dalam dunia yang terus berubah. Di sana, budaya bukan warisan beku, melainkan medan pengembaraan makna—dan kita semua adalah pengembara yang mesti memilih arah.

Dan dari pengembaraan itu, semoga kita pulang—bukan kepada masa silam, tetapi kepada diri yang utuh dan merdeka.

Tulisan ini bukanlah kesimpulan, melainkan undangan. Undangan bagi para pendidik untuk menghidupkan kembali makna dalam kelas-kelas yang sunyi dari simbol. Undangan bagi seniman untuk melampaui impresi dan menyentuh kesadaran. Undangan bagi negara untuk lebih dari sekadar merayakan kebudayaan, tetapi merawatnya secara kritis dan reflektif. Dan yang terpenting, undangan bagi setiap warga untuk bertanya: siapa kita, dari mana kita datang, dan ke mana kita ingin menuju sebagai sebuah bangsa?

Sebab budaya, sejatinya, bukan apa yang kita warisi, melainkan apa yang kita hayati bersama.

Penulis : Ignas Mau