Pemberdayaan Sosial Tanpa Inklusi, Separuh Jalan Yang Membelenggu

Berita Utama292 Dilihat

Di Indonesia, lebih dari 22 juta orang dengan disabilitas hidup di tengah kita. Tapi sebagian besar berjalan di jalur yang tak terlihat — bukan karena mereka tak ingin bergerak maju, tetapi karena sistem yang kita bangun belum sungguh-sungguh menyediakan jalan yang lebar dan mulus bagi mereka. Di ruang pelatihan, mereka hadir tanpa dukungan yang memadai; di meja pembangunan, suara mereka nyaris tak terdengar; di gedung-gedung layanan publik, kaki mereka terhalang oleh fasilitas yang tak mengakomodasi. Inilah ironi terbesar: masyarakat yang bangga dengan program sosialnya, namun abai pada mereka yang paling membutuhkan pemberdayaan sejati.

Pemerintahan Prabowo, yang baru beberapa bulan berjalan, menegaskan komitmennya untuk memperkuat program-program populis yang menyasar kelompok rentan. Skema bantuan sosial diperluas, termasuk janji melanjutkan dan memperkuat berbagai program perlindungan sosial seperti Kartu Indonesia Sehat (KIS), Kartu Indonesia Pintar (KIP), serta pembangunan fasilitas kesehatan dan pendidikan yang lebih inklusif. Pemerintah juga mencanangkan inisiatif baru yang bertujuan mendekatkan akses layanan kepada masyarakat miskin, warga pedesaan, dan kelompok disabilitas seperti Sekolah Rakyat dan Koperasi Desa Merah Putih. Retorika yang diusung adalah “keadilan sosial untuk seluruh rakyat Indonesia”, yang menempatkan kelompok rentan sebagai prioritas dalam peta pembangunan nasional. Namun, di tengah ambisi ini, muncul pertanyaan penting: apakah semua langkah tersebut sudah benar-benar menyentuh inti persoalan—yakni menciptakan sistem yang inklusif dan memberdayakan?

Isu disabilitas dan kemiskinan adalah tantangan global yang menjadi fokus dalam pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs) – tujuan pembangunan global yang disepakati dan diserap dengan penuh oleh pemerintah Indonesia hingga tahun 2030. Prinsip “No one left behind” dalam SDGs menegaskan bahwa pembangunan harus menyertakan seluruh warga negara tanpa kecuali. Indonesia telah meratifikasi berbagai instrumen hak asasi internasional yang mengikat secara hukum untuk memastikan bahwa orang dengan disabilitas mendapatkan hak yang setara dalam seluruh aspek kehidupan. Masalahnya, bagaimana implementasi komitmen yang dikukuhkan dalam ratifikasi itu?

Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat ada sekitar 22,5 juta orang dengan disabilitas di Indonesia. Ini adalah kelompok yang signifikan dalam struktur sosial kita. Namun, ketika berbicara tentang akses terhadap pemberdayaan sosial dan ekonomi, mereka sering kali justru yang paling tertinggal. Angka partisipasi kerja orang dengan disabilitas hanya mencapai sekitar 45%, sementara di bidang pendidikan, hanya sekitar 6% yang berhasil menempuh pendidikan tinggi. Angka-angka ini memotret ketidaksetaraan struktural yang masih menganga lebar.

Masalah mendasar yang dihadapi orang dengan disabilitas bersumber dari hambatan struktural dan budaya yang berlapis-lapis. Stigma dan diskriminasi masih begitu kuat di tengah masyarakat, menjadikan orang dengan disabilitas kerap dianggap sebagai beban atau sekadar objek belas kasihan. Ini adalah hambatan yang mengakar dan bahkan memengaruhi bagaimana negara mendesain kebijakan sosialnya. Banyak program sosial yang dilaksanakan masih memandang orang dengan disabilitas dalam kerangka karitatif, bukan sebagai subjek hak yang memiliki potensi untuk berkontribusi secara penuh.

Di sisi lain, hambatan aksesibilitas fisik dan komunikasi masih menjadi tantangan besar. Fasilitas publik, tempat pendidikan, ruang pelatihan kerja, hingga kantor pelayanan sosial masih banyak yang belum memenuhi standar aksesibilitas yang memadai. Studi YAKKUM pada 2022, misalnya, menunjukkan bahwa lebih dari 70% fasilitas umum di kota besar Indonesia belum ramah kursi roda atau tidak memiliki sarana komunikasi yang memadai untuk orang dengan disabilitas Tuli. Ini membuat mereka secara praktis terpinggirkan dari banyak kesempatan.

Dampaknya berantai. Dalam sektor pendidikan, data Kemendikbud 2023 mencatat angka putus sekolah orang dengan disabilitas di tingkat dasar masih di atas 30%. Mereka yang bertahan hingga pendidikan tinggi hanyalah sebagian kecil, sehingga wajar jika peluang di pasar kerja semakin sempit. Dunia kerja sendiri masih belum inklusif; banyak perusahaan dan institusi yang belum siap membuka kesempatan yang setara. Akibatnya, mayoritas orang dengan disabilitas bekerja di sektor informal dengan pendapatan yang jauh di bawah rata-rata, tanpa perlindungan sosial yang layak.

Laporan Komnas Disabilitas tahun 2022 juga mengungkap fakta yang mencemaskan: banyak orang dengan disabilitas yang bahkan tidak tercatat dengan baik dalam program bansos. Di Kabupaten Klaten, misalnya, dalam satu program pelatihan UMKM yang diselenggarakan Kementerian Sosial, hanya dua dari 50 peserta yang merupakan orang dengan disabilitas. Lebih ironis lagi, keduanya kesulitan mengikuti pelatihan karena tidak tersedia penerjemah bahasa isyarat. Situasi serupa terjadi dalam program padat karya tunai yang dilaksanakan di desa-desa. Riset Pusat Studi Disabilitas UI pada 2023 menemukan bahwa dari 150 desa yang disurvei, hanya 18% yang melibatkan orang dengan disabilitas secara aktif. Alasannya klise: dianggap tidak ada pekerjaan yang cocok atau terlalu sulit secara teknis untuk menyertakan mereka.

Padahal, Indonesia memiliki kerangka hukum yang sudah cukup progresif. UU No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas mewajibkan kuota pekerja disabilitas sebesar 2% di sektor publik dan 1% di sektor swasta. Namun, Ombudsman RI dalam laporannya tahun 2022 menemukan bahwa hanya sekitar 12% kementerian/lembaga yang berhasil memenuhi kuota ini. Ini menjadi bukti nyata bahwa meski regulasi sudah ada, implementasinya masih jauh dari harapan.

Jika ditelusuri lebih dalam, kegagalan inklusi dalam pemberdayaan sosial ini berpangkal pada kurangnya political will yang serius. Banyak program sosial yang hanya berorientasi pada jumlah penerima manfaat dan besarnya anggaran yang terserap, tetapi tidak memiliki indikator keberhasilan berbasis dampak jangka panjang. Misalnya, berapa banyak orang dengan disabilitas yang benar-benar berhasil naik kelas secara ekonomi setelah mengikuti program? Pertanyaan fundamental ini jarang menjadi fokus evaluasi.

Untuk memutus rantai masalah ini, pemerintah perlu melakukan audit menyeluruh atas seluruh program sosial yang berjalan, untuk memetakan kesenjangan yang ada, baik dari sisi data penerima manfaat maupun dari kesiapan fasilitas dan sumber daya manusia pelaksana. Anggaran khusus untuk mendukung aksesibilitas fisik, seperti alat bantu, interpreter, dan transportasi adaptif, harus menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari setiap program sosial yang ada. Pelatihan bagi pelaksana di lapangan tentang prinsip inklusi juga wajib dilakukan secara berkala.

Lebih penting lagi, prinsip Nothing about us without us harus benar-benar diinternalisasi. Organisasi orang dengan disabilitas harus dilibatkan secara aktif dalam setiap tahap kebijakan: mulai dari perencanaan, pelaksanaan, hingga evaluasi. Tanpa pelibatan yang bermakna, kebijakan yang dibuat akan selalu berisiko tidak sesuai dengan kebutuhan nyata di lapangan.
Indikator keberhasilan program sosial pun harus segera diperbaiki. Sudah saatnya pemerintah mulai melaporkan keberhasilan bukan hanya dalam bentuk output seperti jumlah peserta atau total dana yang tersalurkan, tetapi juga dampak nyata yang terukur—berapa banyak orang dengan disabilitas yang berhasil mandiri secara ekonomi atau memperoleh pekerjaan yang layak setelah mengikuti program tersebut.

Penegakan aturan terkait kuota pekerja disabilitas juga harus menjadi prioritas. Sanksi administratif perlu diterapkan bagi lembaga yang lalai, dan secara bersamaan harus ada pendampingan bagi institusi untuk memastikan bahwa mereka benar-benar siap dan mampu memenuhi kewajiban hukum tersebut. Kemitraan antara pemerintah, dunia usaha, dan organisasi masyarakat sipil harus diperkuat agar tercipta ekosistem pemberdayaan yang berkelanjutan.

Masalah disabilitas dan kemiskinan bukan sekadar soal statistik; ini adalah persoalan hak, keadilan, dan martabat manusia. Bung Karno pernah menegaskan bahwa “Kemerdekaan hanyalah jembatan emas; di seberangnya adalah perjuangan untuk menciptakan masyarakat adil dan makmur.” Kemerdekaan sejati hanya bisa dicapai jika seluruh warga negara, termasuk orang dengan disabilitas, memiliki kesempatan yang setara untuk berkembang dan berkontribusi dalam pembangunan bangsa.

Pemberdayaan sosial tanpa inklusi hanyalah membangun rumah di atas pasir. Ia tampak berdiri megah, tapi siap runtuh kapan saja. Jika kita sungguh ingin membangun fondasi bangsa yang kokoh, tak ada jalan lain selain membuka semua pintu bagi seluruh warga—tanpa kecuali.