Sekolah Rakyat Dan Jalan Panjang Mencerdaskan Bangsa

POROSNEWS.ID, Jakarta – Hari Pendidikan Nasional yang kita peringati setiap 2 Mei bukan sekadar ritual tahunan. Tanggal ini dipilih untuk menghormati kelahiran Ki Hadjar Dewantara, pelopor pendidikan nasional Indonesia yang mendirikan Taman Siswa pada 1922 sebagai bentuk perlawanan terhadap sistem pendidikan kolonial yang elitis dan diskriminatif. Melalui prinsipnya yang terkenal: Ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani, beliau menanamkan dasar bahwa pendidikan sejati harus membebaskan, memberdayakan, dan menyatukan bangsa.

Kini, satu abad setelah cita-cita itu mulai dirintis, kita masih menghadapi kenyataan pahit: akses terhadap pendidikan yang bermutu belum sepenuhnya merata. Anak-anak dari keluarga miskin, terutama di wilayah terluar dan terpinggirkan, masih mengalami ketertinggalan struktural. Ini bukan sekadar kegagalan teknis, tetapi kelalaian konstitusional.

Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa pada Maret 2023, jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 25,90 juta orang, atau sekitar 9,36% dari total populasi. Di antara mereka, banyak anak usia sekolah yang kesulitan mengakses pendidikan layak karena kendala ekonomi dan geografis. Ketimpangan ini menegaskan bahwa sistem pendidikan kita belum sepenuhnya menjangkau mereka yang paling membutuhkan.

Dalam konteks inilah, pemerintah memperkenalkan program Sekolah Rakyat—sebuah langkah yang patut diapresiasi. Program ini menyediakan pendidikan gratis dan sistem asrama penuh bagi anak-anak dari keluarga miskin dan miskin ekstrem, mencakup jenjang SD hingga SMA. Diperuntukkan bagi kelompok desil 1 dan 2 dalam Data Tunggal Sosial Ekonomi Nasional (DTSEN), Sekolah Rakyat menghadirkan fasilitas menyeluruh: ruang kelas, tempat tinggal, makanan bergizi, serta kegiatan pembinaan karakter.
Sebagaimana disampaikan Wakil Menteri Sosial, Agus Jabo Priyono:
“Sekolah Rakyat ini bukan sekadar belajar di kelas. Ini gerakan sosial, untuk membebaskan rakyat dari ketertinggalan pendidikan dan ekonomi. Sekolah Rakyat adalah media pemberdayaan, bukan sekadar pendidikan. Tujuannya adalah mempercepat proses keluar dari kemiskinan melalui pendidikan karakter dan keterampilan.”

Kutipan ini menggarisbawahi bahwa pendidikan harus dilihat bukan hanya sebagai sarana mobilitas individu, melainkan sebagai bagian dari proses pemberdayaan kolektif dan pembangunan manusia seutuhnya.

Namun, kita tidak boleh larut dalam euforia program. Pendidikan adalah hak dasar setiap warga negara, bukan sekadar alat kebijakan sosial. Pasal 31 UUD 1945 secara tegas menyebutkan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan, dan negara wajib membiayainya. Artinya, Sekolah Rakyat harus dipahami bukan sebagai bentuk kebaikan hati negara, tetapi sebagai kewajiban konstitusional.
Lebih dari itu, pendidikan harus membebaskan. Seperti yang dikatakan Ki Hadjar Dewantara:
“Pendidikan adalah tuntunan dalam hidup tumbuhnya anak-anak. Maksudnya, pendidikan menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak agar mereka sebagai manusia dan anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.”

Sekolah Rakyat harus menjadi ruang pembentukan karakter, penguatan nilai-nilai kebangsaan, serta peningkatan keterampilan yang relevan dengan kehidupan nyata. Kurikulum dan pendekatan pengajaran harus kontekstual, membumi, dan memberi ruang tumbuh bagi semua potensi anak didik. Para pendidik yang terlibat juga perlu memahami bahwa peran mereka adalah mendidik sekaligus membimbing generasi masa depan Indonesia.

Pemerintah menargetkan 53 Sekolah Rakyat beroperasi pada tahun ajaran 2025/2026, dengan rencana membangun 200 sekolah dalam lima tahun ke depan. Ini adalah langkah awal yang menjanjikan. Namun, keberhasilan program ini akan sangat bergantung pada kualitas pelaksanaannya: rekrutmen guru yang kompeten, pengelolaan anggaran yang transparan, dan keterlibatan masyarakat secara aktif.

Kita juga perlu menjaga agar tidak ada penyimpangan arah, seperti komersialisasi pendidikan atau lemahnya pengawasan publik. Sekolah Rakyat harus tetap berada dalam semangat pelayanan publik—diselenggarakan oleh negara, untuk sebesar-besarnya kemanfaatan rakyat.

Hari Pendidikan Nasional ini menjadi pengingat bahwa cita-cita mencerdaskan kehidupan bangsa belum selesai. Sekolah Rakyat bukanlah tujuan akhir, tetapi jembatan menuju sistem pendidikan nasional yang lebih adil, inklusif, dan memerdekakan. Mari kita kawal dan rawat bersama agar ia benar-benar menjadi wujud keberpihakan negara kepada mereka yang paling membutuhkan: anak-anak bangsa yang berhak untuk bermimpi dan berdaya.