POROSNEWS.ID, Jakarta – Kala Presiden Prabowo Subianto berdiri di hadapan kader muda dalam Kongres IV Tunas Indonesia Raya pada 17 Mei 2025, lidahnya mengucap satu kalimat yang menggetarkan memori sejarah bangsa: “Mereka tidak ingin Indonesia berdiri di atas kaki sendiri.” Sebuah tudingan samar, namun mengandung gema zaman. Ia menyebut “kekuatan besar” yang sejak masa lampau mencuri, merampok, dan menundukkan negeri ini lewat kuasa atas sumber daya dan tipu daya atas pejabat. Sebuah pesan tegas: Indonesia mesti kembali ke jalan berdikari.
Apa yang dikatakan Presiden Prabowo bukan retorika semata. Ia melanjutkan jejak kegelisahan panjang para pemimpin terdahulu: dari Sukarno yang menggugat kolonialisme dalam bentuk barunya—neokolonialisme, hingga pemimpin masa kini yang mencoba memulihkan kendali atas apa yang sejak awal adalah milik bangsa sendiri.
Namun siapakah “mereka” yang dimaksud? Di sinilah narasi sejarah berbisik dari balik lembaran yang nyaris usang.
Sejak zaman penjajahan hingga hari ini, kekayaan bumi nusantara menjadi rebutan kekuatan luar. Di era Sukarno, tekanan dari luar begitu nyata. Pemberontakan PRRI/Permesta (1958) terbukti didukung oleh CIA—sebuah upaya melumpuhkan republik muda yang hendak menasionalisasi aset asing. Sukarno menjawabnya dengan semangat berdikari: berdiri di atas kaki sendiri, membangun tanpa tunduk pada modal internasional.
Namun pasca 1965, di bawah rezim Orde Baru, pintu negeri kembali dibuka lebar bagi investasi asing. Undang-Undang Penanaman Modal Asing 1967 menjadi gerbang emas bagi perusahaan-perusahaan raksasa dunia untuk mengeruk perut bumi Indonesia. Aset strategis, mulai dari tambang, migas, hingga perbankan, satu per satu berpindah ke tangan luar.
Dalam hitungan dasawarsa, dominasi itu kian mengakar. Prof. Pratikno (Mantan Rektor UGM) mencatat bahwa menjelang dekade 2010-an, sekitar 70-80% aset negara—termasuk tambang, telekomunikasi, dan perbankan—telah berada dalam kendali entitas asing.
Lihatlah Freeport di Papua—simbol abadi dari kekayaan yang dibawa lari. Sejak 1967, Freeport-McMoRan menguasai tambang emas-tembaga terbesar di dunia dengan kontrak awal yang hampir tanpa syarat. Selama puluhan tahun, negeri ini hanya menjadi tuan rumah yang menyaksikan tamunya berpesta pora. Baru pada 2018, Indonesia melalui BUMN mengambil alih 51% saham Freeport. Langkah berani, meski terlambat.
Hal serupa terjadi dalam sektor migas. Blok Rokan dan Mahakam selama puluhan tahun dikuasai Chevron dan Total. Namun lewat kebijakan nasionalisasi bertahap, ladang-ladang itu kini dikelola Pertamina. Indonesia mulai mengukir jalannya kembali. Tetapi jalan itu tidak mudah—eksplorasi migas laut dalam (deep offshore) masih membutuhkan teknologi asing yang belum dikuasai sepenuhnya.
Di sektor pangan, negeri agraris ini justru menunduk pada impor. Kedelai kita—pangan rakyat kecil—85% diimpor dari Amerika Serikat. Gandum seluruhnya dari luar. Beras pun—yang dulu menjadi simbol kedaulatan—pada 2023 masih harus diimpor 3 juta ton. Intervensi asing di sini bukan berupa senjata, tapi lewat skema dagang, kartel, dan tekanan lembaga keuangan dunia.
Sektor keuangan bahkan lebih parah. Krisis 1998 adalah pintu besar masuknya pengaruh modal global. Banyak bank nasional dijual ke asing lewat skema penyehatan ala IMF. Pada 2011, lebih dari 50% aset perbankan nasional dikuasai asing. Bahkan Indosat—permata telekomunikasi kita—lepas ke tangan Singapura di bawah bayang-bayang Letter of Intent (LoI) IMF.
Kini, setiap fluktuasi di pasar modal global—setiap gejolak suku bunga di Amerika—mengguncang rupiah. Ini bukan spekulasi: ini fakta dari sistem yang membuat Indonesia masih bergantung pada arus modal dari luar.
Namun Indonesia tidak tinggal diam. Di era Jokowi, gerakan hilirisasi dimulai. Larangan ekspor bijih mentah, pendirian smelter, dan penguatan peran BUMN adalah upaya menuju kedaulatan ekonomi sejati. Presiden Prabowo—meski belum menyebut langkah-langkah spesifik—tampaknya hendak melanjutkan garis ini.
Seruannya kepada generasi muda adalah panggilan lama yang masih relevan: jangan mudah tunduk, jangan mudah dibeli. Sebab kemandirian bukan utopia, melainkan tuntutan zaman. Kekayaan negeri ini tak boleh lagi mengalir ke luar tanpa batas, tanpa kendali.
Ucapan Presiden Prabowo harus kita baca bukan sebagai paranoia, tapi sebagai peringatan yang historis dan sahih. Kita memang telah lama hidup dalam bayang-bayang kekuatan besar—entah negara adidaya, korporasi raksasa, atau lembaga finansial global—yang tak rela negeri ini bebas sepenuhnya.
Namun jalan berdikari bukanlah menutup diri dari dunia, melainkan memastikan bahwa setiap kerja sama, setiap investasi, dan setiap transaksi ekonomi dilandasi oleh prinsip kedaulatan dan kemakmuran rakyat.
Maka menjadi tugas kita bersama untuk mengawal tiap jengkal tanah, tiap tetes minyak, dan tiap keputusan ekonomi—agar semuanya berpulang kepada kepentingan rakyat, bukan segelintir elite, apalagi asing.