POROSNEWS.ID – Sangat sedikit keriuhan Pilpres di media massa besar berkaitan dengan fakta masalah ekonomi yang terjadi. Semua menteri sibuk memberikan data dan menunjukan pekerjaannya sebatas membuktikan “populisme” sebagai pribadi. Bisa dikatakan, menjelang pemilu, kebijakan pemerintah jadi ajang menunjukan gerakan “populisme” ditingkat kementerian sampai ke dinas-dinas Provinsi maupun kabupaten/kota.
Populisme ini justru jadi kejadian yang menarik sekaligus harus diwaspadai. Saya yakin data yang ada di media saat ini juga ada ditangan pemerintah. Tapi, membaca sebuah data akan sangat tergantung persepsi sang pemegang data dan motivasi pribadinya. Jika misalnya, seperti yang ditunjukan data CNBC Indonesia hari ini bahwa tingkat konsumsi menurun padahal konsumsi menyumbang 53% PDB (Produk Domestik Bruto), persepsi politisi yang berada di pemerintah adalah dengan memberikan bantuan tunai seperti BLT adalah jalan keluarnya. Memang betul, bantuan BLT akan membantu catatan peningkatan statistik tingkat konsumsi di kwartal berikutnya, dan tanpa bantuan BLT, statistik akan mencatat kelesuan konsumsi lagi.
Pendekatan populis seperti itu tentu hanya menjawab persoalan jangka pendek, tidak akan menyentuh persoalan mendasar, bahwa konsumsi akan berkaitan erat dengan pendapatan perkapita dan tingkat produktivitas baik sektor barang maupun jasa.
Populisme lah yang kemudian menutup upaya rasional terhadap penyelesaian masalah. Pemerintah justru bertindak menekan pendapatan perkapita dengan menurunkan upah riil lewat kebijakan UU Omnibuslaw Cipta Kerja. Pemerintah juga terus berupaya mencabut subsidi pendidikan dan kesehatan yang sekarang berdampak pada turunnya tingkat konsumsi sektor kesehatan dan pendidikan, yang artinya bukan rakyat sudah tidak sakit lagi, tapi akses terhadap pelayanan kesehatan dan pendidikan semakin tidak bisa dijangkau oleh masyarakat!
Menurunnya upah riil inilah yang kemudian menjadi penyebab “lesu”-nya perekonomian. Penurunan upah riil ini disebabkan kebijakan pemerintah yang sangat berpihak kepada kepentingan keuntungan investor. Keberpihakan itu nyata-nyata diwujudkan dalam UU Omnibuslaw Cipta Kerja. Ini jelas praktek kebijakan negara yang menimbulkan jurang ketimpangan ekonomi. Alih-alih tranformasi ekonomi kearah industri teknologi tingkat tinggi, justru negara kita terjebak dalam pusaran kepentingan negara-negara lain yang lebih dulu industrinya disokong oleh teknologi moderen.
Negara-negara ekonomi besar yang bersandar pada teknologi maju saat ini terlibat “perang dagang” terbuka. Sedangkan kita, negara yang baru akan masuk dalam permainan global industri teknologi tingkat tinggi membutuhkan sarana dan prasarana penunjang kebutuhan transfer teknologi maupun market beserta rantai industri dari negara-negara yang lebih maju tersebut.
Walaupun dalam hayalan para ekonom investasi teknologi akan memberikan peluang ekonomi lebih baik dimasa depan, alih-alih hayalan tersebut tercapai, bisa buyar akibat terhambat oleh situasi politik global, Perang dagang di permukaan, dan perang nyata Hegemoni barat terhadap pesaing-pesaing barunya yang mulai memainkan posisi politiknya akibat dari kemakmuran ekonomi negaranya yang membuat mereka bisa duduk satu meja dengan kekuatan yang sama. Dan itu ditunjukan oleh China, Rusia dan India yang kemudian mendirikan BRICS yang secara terang-terangan melawan hegemoni Barat di segala sektor.
Situasi ini akan membuat posisi kebijakan luar negeri kita tidak bisa sepenuhnya berada dalam dua blok sekaligus. Langkah apapun yang diambil akan berkonsekuensi terhadap kepentingan strategis jalur distribusi ekonomi Indonesia. Hal inilah yang seharusnya terlihat dalam program politik Partai maupun calon presiden yang akan datang.
Saat ini semua dalam posisi ambigu. Kepentingan kebijakan rantai distribusi ini akan jadi ajang keras kepentingan para pebisnis kelas kakap yang sangat terkait dengan kepentingan bisnis global. Sementara, geopolitik antara kepentingan hegemoni Barat menindas saingan barunya menuntut dukungan yang luas dari negara-negara lain, atau sekutu-sekutu regional seperti Indonesia yang loyal terhadap barat dalam perang dingin di tahun 1960-an pasca digulingkannya Presiden Soekarno oleh Jenderal Soeharto.
Kembali ke catatan ekonomi CNBC Indonesia hari ini, bahwa kita sedang dalam kebingungan dalam menentukan bagaimana menjawab perkembangan saat ini baik kedalam maupun keluar. Tidak sedikit wacana pembangunan model China menjadi hayalan yang bisa dilaksanakan oleh pemerintah. Dan model meniru-niru atau ikut trend sah-sah saja, asal jangan cuma jadi followers kalo kata generasi sekarang, seperti gaya Soeharto yang ingin seperti kebarat-baratan dalam ekonomi tapi mempraktekan otoritarian militer dan memanipulasi demokrasi. Uniknya, kalau ingin mencontoh kemajuan China, mereka tidak mengenal demokrasi liberal (pemilu multpartai) mereka hanya berdemokrasi dalam 1 tubuh Partai Komunis Tiongkok dan dalam keputusan negara dikenal dengan Konsultasi lewat lembaga-lembaga negara yang melibatkan perwakilan-perwakilan Partai di daerah, kelompok-kelompok etnis minoritas yang dipilih komunitas lokalnya, perwakilan organisasi profesional termasuk asosiasi pengusaha.
Indonesia sendiri sebenarnya mengenal demokrasi Pancasila. Yang saat ini diterjemahkan dalam praktek Pemilu liberal (multipartai) dalam membentuk sistem pemerintahan setiap 5 Tahun sekali semenjak Reformasi bergulir dengan ditandai mundurnya Jenderal Soeharto. Disatu sisi, Pancasila dalam sila ke 4 berbunyi, “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan”. Dalam catatan sejarah, perwujudan dari sila ke 4 tersebut bisa saja melalui pemilu, dan pemilu pertama dilaksanakan setelah 10 tahun Indonesia merdeka tahun 1955. Hasil pemilu ini di brengus lewat dektrit presiden 5 Juli 1959. Dari hasil pemilu tersebut sebetulnya melahirkan UUDS 1950, yang dianggap terlalu liberal dan menyebabkan kegaduhan politik saat itu ditengah dimulainya perang dingin antara blok Barat melawan blok Uni Soviet. Setelah dektrit presiden, Soekarno dituduh rekan-rekan baratnya “condong ke kiri” atau lebih berpihak pada blok Uni Soviet.
Saat ini secara geopolitik internasional terjadi polarisasi antara Hegemoni barat berhadapan dengan pesaing baru ekonomi yang tumbuh dari negara-negara bekas kolonial yang dipimpin China dan berkumpul dalam BRICS. Bulan lalu Presiden Jokowi mengajukan Indonesia untuk bergabung dalam BRICS, Indonesia juga bergabung dalam insiatif sabuk dan jalan yang diinisiasi oleh China. Ekspor Indonesia ke China juga meningkat dalam 10 tahun ini terutama bahan-bahan baku penyokong industri mereka seperti Tambang mineral dan minyak, batubara serta gas alam cair, dan China juga memperhitungkan Indonesia sebagai tujuan ekspor produk industri China.
Hadirnya China sebagai pemain baru di Indonesia tentu menjadi tantangan kepentingan barat yang lebih dulu membangun jaringan kepentingan bisnisnya di Indonesia berkat rezim Soeharto yang “ramah” terhadap barat dan anti sekutu Uni Soviet maupun negara yang dipimpin partai komunis seperti China.
Strategi China membangun infrastruktur jalan, kebutuhan transportasi dan energi (jalur kereta, bandara, pelabuhan, bendungan hingga jalan toll) lainnya lewat program inisiasi jalan dan sabuk, membutuhkan industri pendukung dalam mengolah kebutuhan konstruksi. China membangun pabrik semen hingga industri baja di Indonesia untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Ini jelas diluar strategi yang dipakai barat dimana industri mereka terutama pertambangan untuk memenuhi kebutuhan pasar Barat. China justru membangun investasinya dengan alasan yang diawali memenuhi kebutuhan pembangunan dalam negeri.
Ditengah berjalannya pembangunan infrastruktur yang masif, keluarlah UU Omnibuslaw Cipta Kerja. Kenapa? Dalam persepsi pemerintah, infrastruktur yang dibangun adalah salah satu fasilitas yang diberikan kepada investor. Dan itu dianggap tidak cukup!
UU omnibuslaw Cipta Kerja memberikan fasilitas tambahan upah murah, area bisnis dengan harga lahan murah, dan berbagai fasilitas lain termasuk melemahkan buruh dengan pengetatan dan pengawasan terhadap buruh yang berserikat.
Jadi, menurunnya tingkat konsumsi yang menyebabkan ekonomi lesu itu akibat kebijakan pemerintah yang terlalu mementingkan kepentingan investasi dalam mengeruk keuntungan. Artinya pemerintah lebih senang bursa saham hidup ketimbang kehidupan masyarakatnya. Tanpa memperbaiki persepsi dalam membuat rancangan pembangunan, akhirnya politik kita terjebak dalam politik populisme yang tidak menjawab persoalan. Penurunan tingkat konsumsi (penurunan daya beli masyarakat) bukan diperbaiki dengan memperbaiki sistem upah yang lebih baik justru malah mengeluarkan kebijakan yang menurunkan upah riil pekerja. Juga pencabutan subsidi kesehatan dan pendidikan yang menyebabkan meningkatkan pengeluaran masyarakat dan menjatuhkan daya beli masyarakat dalam mengakses fasilitas kesehatan dan pendidikan yang lebih baik buat generasi selanjutnya.
Keengganan Calon Presiden dan Wakil Presiden yang bertarung dalam kontestasi Pemilu 2024, dan Partai Politik yang saat ini menguasai parlemen baik pusat maupun daerah dalam upaya mencabut UU Omnibuslaw Cipta Kerja dan lebih memilih mengunakan praktek populisme dengan uang negara membuktikan akan sangat sulit ke depan jika hal ini terus diwariskan dalam kehidupan berbangsa kita. Bahkan untuk menaikan Upah buruh/pekerja 2024 sebesar 15% pun mereka engan, walaupun data didepan mata mereka menunjukan menurunnya daya beli masyarakat, menurunnya tingkat konsumsi masyarakat.
Perubahan bangsa ini dan nasib kita sebagai pemilik negara tidak mungkin datang dari langit. Kesempatan memperbaiki keadaan ini dengan datang ke TPS pada tanggal 14 Februari 2024. Anda datang ke TPS bukan karena dapat BLT, atau sekarung beras bantuan sosial, tapi karena akan memilih masa depan anda, terutama masa depan tanpa kemiskinan, tanpa dipandang sebelah mata sebagai orang miskin yang cuma tau dapat sedekah, tapi masa depan dimana setiap keringat rakyat yang bekerja keras dan tulus diwujudkan kesejahteraanya oleh negara. Rakyat Sejahtera bersama Negara sejahtera!
Frans Eka Dharma Kurniawan
Wakil Ketua I Exco Partai Buruh Sulawesi Utara