POROSNEWS.ID – Indonesia terus digeluti banyak kecemasan dan kekecewaan, cemas akan kesejahteraan yang semakin tidak menemukan titik terangnya serta kekecewaan terhadap keadilan (keadilan ekonomi, keadilan politik) yang juga tak kunjung bisa didapatkan.
Reformasi banyak diisi para penumpang gelap, bekas kaki tangan rezim otoritarianisme, yang secara terorganisir menghilangkan banyak nyawa para martir demokrasi.
Para anak-anak revolusi itu belum mampu menjadi anti thesa rezim yang pseudo Pancasilais ini. Masih menempel dan terombang-ambing pada apa yang dahulu dianggap harapan pembaharu dengan mendompleng nama besar Sukarno, nawacita dan Nasionalis.
Periodesasi kekuasaan silih berganti, tapi bukan isinya, persis seekor ular, kulitnya bisa berganti rupa, tapi tetap saja membahayakan. Nama seperti Anis, Ganjar, Prabowo, AHY, Cak Imin dan para pemilik Partai bonafit lainnya merupakan hasil ‘endorsement’ elit, hasil tukar guling kepentingan, bukan benar-benar dorongan masa rakyat yang tersadarkan. Itu konsekuensi dari demokrasi liberal, bukan demokrasi yang dulu hendak diimpikan.
Nama-nama mereka selalu jadi ‘bursa politik’ limatahunan, buruan para lembaga survey, seakan-akan Republik ini bisa lebih baik jika nama-nama mereka yang terlibat dalam pertarungan politik.
Padahal, jika kita berani sedikit lebih jujur, tidak ada pembeda dari nama-nama itu, semua hasil negosiasi oligarki, pilpres berubah menjadi arisan politik, dalangnya sama, pemainnya cukup di undi saja.
Sialnya, kita (yang tersadarkan) juga ikut terpesona dengan framing bahwa mereka seperti ‘Juru selamat’ republik ini. Seolah tidak berani dorong kekuatan alternatif, figur alternatif dari segala kebuntuan. Para anak-anak revolusi itu menjadi gagap, disandera oleh kepentingan elit, ikut arus jika tidak ingin putus.
Republik ini seolah kehilangan anak bangsa yang jujur, komitmen dan konsisten, bukan pada hal-hal remeh-temeh saja, melainkan pada hal yang prinsipil “Demokrasi dan Kesejahteraan”.
Agus Jabo Priyono (Akrab di sapa Bung Jabo, Mas Jabo) nama yang akhir-akhir ini diperbincangkan di Ibu Kota hingga pedesaan. Namanya kembali mencuat setelah KPU dibuat takluk oleh perjuangannya membawa PRIMA menang dihadapan hakim pengadil Jakarta Pusat, karena terbukti curang, KPU diganjar hukuman untuk tidak lanjutkan sisa proses tahapan.
Bagi saya, itu hukuman paling fair kepada penyelenggara yang tidak profesional. Terlepas kita kakuh mau lanjut pemilu atau undur beberapa hari, bukankah demokrasi itu soal proses yang adil, jujur dan terbuka? bukan jadwal anak sekolah yang harus tepat waktu lalu menginjak-injak keadilan.
Dari sependek yang saya tahu tentang Ketua Umum PRIMA, mungkin dialah anak-anak reformasi yang masih tersisa dengan semangat yang tidak berubah. Agus Jabo Priyono yang saya atau kalian kenal 15-20 tahun lalu merupakan Agus Jabo Priyono yang sama. Semangatnya, nilai perjuangannya, kesetiakawanannya, konsistennya, tidak pernah luntur sedikitpun, sekalipun rezim berganti rupa.
Kenapa tidak kita berfikir lebih maju dan berani bahwa Indonesia bisa jauh lebih baik jika nama yang disodorkan punya sejarah menata peradaban dengan kegigihan dan keringatnya sendiri. Nama itu bukan Anis, Ganjar, atau Prabowo, tapi Agus Jabo Priyono.
Agus Jabo Priyono bukan jebolan framing media, bukan proyeksi lembaga survey, bukan pula hasil kongkalikong oligarki. Ia orisinil terlahir dari semangat perjuangan rakyat biasa. Jabo bukan bagian dari kejamnya rezim masa lalu, bukan pula bagian dari kelihaianya rezim saat ini, Jabo bukan sekedar penikmat melainkan pejuang yang tak kenal lelah. Baginya, cita-cita adalah segalanya, tak ada yang bisa hentikan semangat perjuangan keadilan dan kesejahteraan kecuali kematian.
Indonesia butuh figur seperti Agus Jabo Priyono, bukan Anis, Ganjar, apalagi Prabowo Subianto.
Oleh : Azman Asgar