Arah Fiskal MENKEU Purbaya : Untuk Ekonomi Rakyat?

POROSNEWS.ID – APBN bukan sekadar tumpukan angka dalam dokumen setebal ribuan halaman. Ia adalah cermin politik ekonomi bangsa—cermin yang memperlihatkan sejauh mana negara benar-benar hadir untuk rakyatnya. Anggaran negara bukan sekadar “pembukuan besar” bagi birokrasi, melainkan jantung denyut kehidupan sosial: dari harga beras di pasar tradisional, gaji guru honorer di sekolah pelosok, hingga obat gratis di puskesmas desa.

Karena itu, setiap pergantian Menteri Keuangan selalu menimbulkan tanda tanya besar. Apakah wajah baru di kursi Bendahara Negara akan menghadirkan arah baru? Ataukah hanya sekadar melanjutkan pola lama, dengan bahasa teknokratis yang rapi di atas kertas, tetapi jauh dari denyut kebutuhan rakyat kecil?

Pertanyaan itu kembali muncul ketika Sri Mulyani Indrawati digantikan oleh Purbaya Yudhi Sadewa. Sri Mulyani dikenal sebagai teknokrat konservatif: menjaga disiplin fiskal, mengurangi defisit, dan memastikan kredibilitas di mata pasar global. Purbaya datang dengan warna berbeda: ekonom dengan naluri lebih politis, lebih lugas, dan—setidaknya dari pernyataan awalnya—lebih menekankan pada fungsi fiskal untuk menggerakkan daya beli rakyat.

Apakah ini tanda babak baru? Editorial ini berusaha merefleksikan langkah awal Menkeu Purbaya, menimbang peluang dan risiko, serta mengajukan pandangan konstruktif agar fiskal benar-benar menjadi senjata pemutus ketimpangan.

Purbaya dan Pergeseran Paradigma Fiskal
Pernyataan pertama Purbaya setelah dilantik memberi sinyalemen jelas bahwa ia menginginkan fiskal yang dapat menjaga daya beli rakyat. Ini menandai pergeseran penting. Jika Sri Mulyani identik dengan “menenangkan pasar” dan menjaga rating utang, Purbaya justru membuka ruang fiskal untuk membangkitkan konsumsi domestik.

Langkah cepatnya: melanjutkan stimulus fiskal Rp 33 triliun pada Januari 2025 dan Rp 24,4 triliun pada Juni 2025. Stimulus itu terbukti menjaga pertumbuhan konsumsi rumah tangga di kisaran 5%—cukup tinggi dibanding banyak negara lain yang sedang tertekan perlambatan global. Tetapi, efek stimulus sifatnya jangka pendek: ia seperti obat pereda sakit kepala, bukan vitamin yang memperkuat tubuh.

Purbaya tampaknya sadar akan hal ini. Maka ia melangkah lebih jauh dengan kebijakan paling mencolok: menempatkan Rp 200 triliun dana negara di bank-bank Himbara (Himpunan Bank Milik Negara). Kebijakan ini bukan hal baru, tetapi jumlahnya kali ini sangat besar. Tujuannya: memperbesar kapasitas kredit perbankan untuk sektor riil, dari UMKM hingga pertanian.

Secara teori, langkah ini bisa melipatgandakan likuiditas. Bank yang mendapatkan dana murah akan lebih leluasa menyalurkan kredit. Jika diarahkan benar, UMKM bisa mendapat modal lebih terjangkau, sektor pangan mendapat dukungan, dan ekonomi rakyat bergerak. Tetapi, di sinilah tantangannya: sejarah perbankan menunjukkan dana murah kerap justru mengalir ke debitur besar yang dianggap aman.

Kita punya catatan panjang. Pada era sebelumnya, penyaluran Kredit Usaha Rakyat (KUR) sering kali tak tepat sasaran. Banyak kredit jatuh ke pedagang besar, sementara pelaku mikro di pasar tradisional tetap kesulitan. Sebut saja kasus pada Desember 2019, ketika Presiden Joko Widodo meminta agar penyaluran KUR diarahkan lebih ke sektor produktif karena selama ini sektor perdagangan mendominasi penerima KUR. Sektor pertanian hanya menyerap sekitar 30%, dan sektor industri pengolahan mikro, kecil, dan menengah baru sekitar 40%. Riset yang dilakukan Pusat Kebijakan Sektor Keuangan (PKSK) Kementerian Keuangan RI pada tahun 2016 juga menyebut bahwa sebagian besar penerima KUR adalah ‘nasabah bankable’, menunjukkan bahwa usaha mikro terdepan yang modal dan asetnya minim masih tertinggal.

Risiko inilah yang harus diantisipasi Purbaya. Rp 200 triliun bukan angka kecil. Jika hanya berputar di lingkaran elite, dampaknya pada rakyat akan minim. Lebih parah lagi, rakyat bisa kehilangan kepercayaan terhadap jargon “ekonomi pro-rakyat”.

Makan Bergizi Gratis (MBG): Momentum Integrasi Fiskal dan Sosial

Dalam situasi ini, program Makan Bergizi Gratis (MBG) memberi peluang emas untuk menunjukkan bahwa fiskal benar-benar berpihak pada rakyat.

Data Badan Gizi Nasional menunjukkan lebih dari 7.475 dapur MBG (Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi/SPPG) beroperasi di berbagai daerah. Menariknya, sebagian besar infrastruktur awalnya dibangun melalui kemitraan masyarakat, bukan APBN. Pemerintah memang menargetkan hingga akhir 2025 akan terbentuk 30.000 dapur MBG, dengan cakupan 82,9 juta anak sekolah, ibu hamil, dan balita.

Kementerian UMKM sudah menegaskan bahwa minimal 60 persen bahan baku MBG harus berasal dari produk UMKM lokal. Artinya, MBG bukan sekadar program sosial, tetapi ekosistem ekonomi: ia bisa menghidupkan jutaan UMKM di sektor pangan, pertanian, peternakan, dan logistik.

Namun, fakta di lapangan menunjukkan hambatan besar: UMKM kesulitan memenuhi standar kualitas, volume, dan kontinuitas pasokan karena akses modal sangat terbatas. Banyak dapur MBG masih harus membeli bahan dari pemasok besar di kota, bukan dari UMKM lokal. Di sinilah kebijakan fiskal seharusnya masuk.

Editorial ini menilai, kebijakan Rp 200 triliun di bank Himbara hanya akan berdampak signifikan bila ada alokasi khusus bagi UMKM yang menjadi bagian rantai pasok MBG.

Bayangkan jika setiap dapur MBG mendapat dukungan modal kerja berbasis kredit lunak dari Himbara. Petani lokal bisa menjamin pasokan sayuran, nelayan bisa menyediakan ikan segar, dan koperasi desa bisa mengelola distribusi. Dengan begitu, program MBG tidak hanya menyehatkan generasi muda, tetapi juga menghidupkan ekonomi rakyat dari bawah.

Inilah yang dimaksud dengan fiskal pro-rakyat: uang negara mengalir langsung ke meja makan rakyat, bukan sekadar ke neraca korporasi.

Utang dan Keseimbangan Jangka Panjang

Purbaya mewarisi rasio utang sekitar 39% PDB (debt-to-GDP ratio) – ukuran yang paling sering dipakai untuk menilai kesehatan fiskal suatu negara. Angka ini relatif aman dibanding banyak negara berkembang lain, selain juga masih di bawah ambang batas yang ditetapkan oleh UU No.17/2003 tentang Keuangan Negara.  Namun aman bukan berarti bebas risiko: yang penting adalah bagaimana utang itu dipakai—apakah produktif untuk rakyat, atau sekadar menambah beban generasi berikut.Apalagi, kebutuhan pembiayaan program populis—dari MBG hingga Sekolah Rakyat—bisa mendorong tren utang naik.
Di sinilah pentingnya menjaga kualitas utang. Utang produktif—yang membiayai investasi sektor pangan, energi, pendidikan—akan membuahkan hasil jangka panjang. Tetapi utang konsumtif atau seremonial hanya akan membebani generasi berikut.

Purbaya tampaknya memahami hal ini. Ia menegaskan bahwa setiap rupiah harus digunakan seefisien mungkin. Tetapi, Editorial ini menekankan perlunya audit publik dan transparansi penuh, agar rakyat tahu ke mana utang dan dana besar diarahkan.

Sejarah mengajarkan kita: dari skandal BLBI, Bank Century, hingga Jiwasraya, uang besar tanpa kontrol selalu berujung bencana.

Karena itu, langkah Purbaya harus dibarengi mekanisme pengawasan publik. Misalnya: laporan periodik penyaluran Rp 200 triliun Himbara, audit independen, serta keterlibatan pengawasan oleh DPR dan organisasi masyarakat sipil.

Presiden Prabowo sendiri berulang kali menekankan soal menutup kebocoran. Itu berarti janji transparansi harus ditagih bukan hanya dengan pidato, tetapi dengan regulasi dan mekanisme nyata.

Pertaruhan Legacy Menkeu Baru

Fiskal adalah neraca keadilan. Jika dana Rp 200 triliun hanya memperkuat konglomerasi, rakyat akan kembali kecewa. Tetapi jika diarahkan ke UMKM, koperasi, dan program sosial strategis, maka fiskal benar-benar menjadi alat untuk memutus rantai ketimpangan.

Editorial ini melihat langkah awal Purbaya sebagai peluang sekaligus ujian. Peluang, karena ada keberanian membuka fiskal untuk rakyat. Ujian, karena risiko kebocoran dan salah sasaran selalu mengintai.

Menkeu baru selalu datang dengan harapan baru. Publik melihat bahwa Purbaya ada tekad untuk menggunakan fiskal bukan hanya menjaga stabilitas, tetapi juga menyejahterakan rakyat. Itu patut diapresiasi.

Namun, apresiasi harus dibarengi pengawalan. Editorial ini melihat pentingnya :

Alokasi khusus dibuat untuk UMKM dalam rantai pasok MBG dan program strategis Presiden Prabowo yang lain.

Transparansi penuh diterapkan atas penempatan Rp 200 triliun di Himbara.
Prioritas investasi produktif dijaga, bukan sekadar proyek mercusuar.

Partisipasi organisasi rakyat dilibatkan dalam merumuskan kebijakan fiskal.

Jika semua itu dijalankan, maka kita boleh berharap janji fiskal pro-rakyat akan terwujud. Purbaya akan dikenang bukan semata sebagai bendahara negara, tetapi sebagai Menkeu yang menyalurkan uang rakyat untuk kesejahteraan rakyat.

Fiskal di tangan Menkeu yang bergaya koboi ini bukan sekadar neraca angka; ia bersalin menjadi neraca keadilan. Itulah harapan yang harus kita dukung bersama.

Selamat bekerja, pak Menkeu!