POROSNEWS.ID – Kita semua menyaksikan pada 8 September 2025 baru-baru ini, Presiden Prabowo Subianto melakukan reshuffle kabinet. Momentum ini seharusnya tidak hanya dimaknai sebagai perombakan personalia tetapi juga momentum untuk menata ulang arah kebijakan strategis: sektor koperasi termasuk di dalamnya. Pada Kementerian Koperasi sendiri, Budi Arie Setiadi yang sebelumnya menjabat sebagai Menteri Koperasi digantikan oleh Ferry Juliantono yang sebelumnya adalah Wakil Menteri Koperasi.
Reshuffle ini semestinya momentum untuk mengembalikan ruh koperasi; momentum mengembalikan kemandirian rakyat. Menteri Koperasi yang baru perlu segera memberi jawaban atas pertanyaan mendasar: ke mana arah gerak koperasi Indonesia terutama koperasi desa, dalam menghadapi tantangan global dan kebutuhan lokal?
Reshuffle kabinet kerap dianggap sekadar pergantian kursi. Namun, pemisahan Kementerian Koperasi dari Kementerian UMKM beberapa waktu lalu justru membuka ruang refleksi yang lebih dalam: apakah koperasi desa masih menjadi “sokoguru” (tiang utama) perekonomian rakyat, atau perlahan bergeser sekadar menjadi saluran distribusi barang, termasuk barang impor?
Kebijakan pemerintah memang menempatkan koperasi desa, misalnya lewat skema Kopdes Merah Putih sebagai jalur distribusi barang kebutuhan pokok bersubsidi seperti beras, pupuk, LPG, hingga produk pangan dari BUMN. Kebijakan ini bertujuan menjaga stabilitas harga di desa. Namun, jika tidak disertai strategi pemberdayaan, koperasi bisa terjebak menjadi sekadar perpanjangan tangan rantai distribusi, bukan penggerak kemandirian desa.
Di sisi lain, data Kementerian Koperasi dan UKM mencatat sekitar 74 persen barang di platform digital UKM adalah produk impor (belum ada data publik yang secara spesifik mengatakan bahwa koperasi desa import barang impor secara langsung dan menjualnya sebagai usaha impor, masih belum terdokumentasi secara publik dengan jelas, namun data ini saya dapatkan dari ttps://katadata.co.id/berita/industri/66b22274d454a/kemenkopukm-74-barang-yang-dijual-dalam-lokapasar-merupakan-barang-impor https://www.kompas.id/artikel/semakin-merebak-barang-jadi-impor-dijual-murah-di-platform-daring. Tdak dapat dipungkiri Fakta ini memberi sinyal bahaya, apabila koperasi ikut dalam ekosistem digital tanpa perlindungan produk lokal, hal ini berisiko menjadi “rak barang impor” alih-alih etalase produk rakyat.
Padahal koperasi desa semestinya dapat lebih dari itu. Ia bisa menjadi gudang, pusat distribusi, sekaligus etalase produk potensial desa, dari jagung, kelor, garam, hingga tenun ikat. Konteks Nusa Tenggara Timur (NTT) memberi contoh jelas: potensi melimpah justru dijual mentah dengan nilai tambah minim, sementara koperasi sering kali absen sebagai benteng nilai ekonomi rakyat.
Karena itu, reshuffle kali ini harus dibaca sebagai momentum. Menteri Koperasi baru tidak cukup hanya menyalurkan program kredit atau mendistribusikan sembako bersubsidi. Yang lebih mendesak adalah menjadikan koperasi desa instrumen industrialisasi lokal: mengumpulkan, mengolah, mengemas, dan memasarkan produk. Kebijakan afirmatif berupa teknologi tepat guna, pembiayaan murah, dan pendampingan manajemen menjadi prasyarat.
Di sinilah letak pentingnya kebijakan afirmatif dari kementerian baru: koperasi desa harus diarahkan sebagai instrumen industrialisasi lokal. Jika tidak, reshuffle hanya mengganti wajah tanpa mengubah nasib. Artinya, koperasi tidak hanya mengumpulkan, tetapi juga mengolah, mengemas, dan memasarkan produk. Dukungan pembiayaan murah, teknologi tepat guna, serta pendampingan manajemen menjadi kunci.
Namun bagi saya, kebijakan saja tak cukup, tak akan efektif tanpa gerakan dari bawah, transformasi ini tidak bisa hanya digerakkan dari atas. Agitasi sosial dan mobilisasi kesadaran masyarakat desa untuk masuk ke koperasi harus menjadi gerakan bersama, Kesadaran masyarakat harus digerakkan, masyarakat desa masuk ke koperasi menjadi syarat mutlak. Koperasi bukanlah milik pemerintah, melainkan milik anggota. Tanpa partisipasi aktif rakyat, tanpa partisipasi warga, koperasi hanya tinggal nama, atau sekadar “papan nama” yang hidup di atas kertas. Dibutuhkan agitasi sosial, dorongan moral, pendidikan publik, dan teladan kepemimpinan desa, agar rakyat masuk, menghidupi, dan merasa memiliki koperasi.
Jika semua ini diabaikan, pemisahan kementerian dan reshuffle menteri hanya akan sia-sia; hanya akan menghasilkan wajah baru tanpa arah baru, tanpa mengubah paradigma. Koperasi desa hanya menjadi saluran barang impor dan rakyat desa akan terus kehilangan daya tawar di tanahnya sendiri. Koperasi seharusnya ditempatkan kembali pada posisi strategis: bukan sekadar alat distribusi melainkan mesin kedaulatan ekonomi rakyat.
Bila koperasi gagal diberdayakan, maka rakyat desa akan semakin tergantung pada barang impor, dan koperasi desa akan menjadi gerbang barang impor, sementara rakyat desa tetap menjadi penonton dalam panggung ekonominya sendiri dan Indonesia kehilangan salah satu tiang penyangga kemandirian ekonomi nasional.