Penyelesaian Konflik Agraria, Hilirisasi Sawit Dan Industrialisasi Nasional

Berita Utama235 Dilihat

Hilirisasi bagi Presiden Jokowi rupanya menjadi harga mati alias syarat mutlak untuk Indonesia maju. Meskipun digugat WTO, diperingatkan IMF, Presiden Jokowi maju tak gentar.

Kita juga paham bahwa Indonesia maju itu berarti perekonomian nasional meningkat dan itu perlu dukungan Hilirisasi. Tak hanya mineral, perkebunan, pertanian, perikanan. “Semua bisa dihilirisasi,” begitu kata Presiden Jokowi. Tentu juga di bidang kebudayaan.

Hilirisasi mendorong kita untuk membangun industrialisasi nasional yang sehat, yang tak hanya ramai berindustri-ria, berhilirisasi tapi rakyat negeri gigit jari.

Sawit sebagai salah satu sumber pangan dunia dan Indonesia adalah negara penghasil Sawit tertinggi dengan total luas lahan Sawit di tahun 2022 mencapai 15,38 juta Hektar, dengan rincian perkebunan rakyat 6,37 juta hektar, perkebunan badan negara 0,59 juta hektar dan perkebunan badan swasta 8,40 juta hektar, dengan jumlah yang dihasilkan tahun 2022: 48,23 juta ton, rinciannya perkebunan rakyat 16,27 juta ton, perkebunan badan negara 2,45 juta ton , perkebunan badan swasta 29,50 juta ton. Dengan begitu Sawit layak dikonsentrasikan sebagai pilihan tekanan industrialisasi nasional.

Faktor kunci industrialisasi itu tanah. Jika Indonesia menjadikan Sawit sebagai basis industri nasional sudah tepat, mengingat luasan lahan Sawit yang terus meluas dan membuat ketergantungan negara lain cukup tinggi ketimbang sektor lain yang diambil dari dalam bumi.

Sayangnya, mencermati kebijakan industri nasional saat ini  hakikatnya sudah bukan untuk kemakmuran rakyat. Indikatornya sederhana: semakin terkonsentrasi dan meningkatnya harta kekayaan 10 oligark Indonesia yang  melebihi100 persen.

Misalnya Lim Hariyanto; menjadi orang terkaya keenam di Indonesia dari posisi sebelumnya di peringkat ke-36 orang terkaya akhir 2022. Kekayaannya melonjak sekitar 381,81% dari akhir tahun lalu yang sebesar US$1,1 miliar. Lim merupakan pengusaha perkebunan kelapa Sawit Bumitama Agri yang tercatat sebagai emiten di Singapura.

Jadi, sangat-sangat jomplang dengan pendapatan petani yang diukur dari  NTP hanya naik 0,19 persen atau sebesar 110,41 pada Juni 2023 yang pada bulan sebelumnya hanya 110,20, sementara pendapatan buruh (upah) tidak boleh naik melebihi 10 persen sesuai Permenaker Nomor 18 Tahun 2022 tentang Penetapan Upah Minimum Tahun 2023.

Karena itu realisasi industrialiasi nasional dalam hal ini Sawit harus dimulai dari mengklirkan soal tanah atau lebih pasnya soal agraria hingga ada perubahan dalam pola hubungan produksi seperti pelibatan rakyat pemilik lahan Sawit yang diwujudkan dalam koperasi-koperasi mulai dari perencanaan, proses produksi dan pasca produksi; lebih tepat kita sebut hubungan produksi gotong-royong di dalamnya ada keterlibatan negara (BUMN) dan swasta nasional untuk menggantikan hubungan produksi individu yang hasilnya bukan untuk kesejahteraan rakyat.

Berkaitan dengan Pilpres 2024, barangkali benar kita butuh:

“Presiden yang berani melindungi hutan, mengatur tambang dan kebun sawit sebab Tanah Air bukan untuk memperkaya orang super kaya tetapi untuk memajukan kesejahteraan umum, memakmurkan kehidupan rakyat,” sebagaimana disampaikan Agus Jabo Priyono, Ketua Umum Partai Rakyat Adil Makmur, PRIMA, yang kini masih menanti keputusan Mahkamah Agung atas Kasasi yang diajukan PRIMA berkaitan dengan kepesertaan PRIMA sebagai peserta Pemilu 2024. Dikutip dari berdikarionline.com.