Ketika Rakyat Kena Tilang, Traktor PT PG Gorontalo Melenggang, Abdul Razak Konoli: Apa Hukum Cuma untuk Si Miskin?

Berita Utama167 Dilihat

POROSNEWS.ID, Gorontalo – Di negeri yang katanya berdiri di atas hukum, keadilan ternyata masih memilih-milih: tajam ke bawah, tumpul ke atas.

Ketika rakyat kecil telat membayar pajak motor, negara datang dengan surat tilang. Tapi saat traktor-traktor milik PT. PG Gorontalo yang tak berpelat nomor dan tak membayar pajak melintas di jalan nasional, negara justru membisu.

Bisu, atau memang sengaja dibiarkan?

Abdul Razak Konoli, aktivis rakyat asal Kabupaten Gorontalo, mengungkap fakta pahit ini. Ia menyaksikan sendiri bagaimana kendaraan operasional milik perusahaan tebu itu bebas menggunakan jalan publik—tanpa identitas, tanpa kontribusi, tanpa malu.

“Kalau warga biasa, motor telat pajak dua hari langsung kena razia. Tapi traktor-traktor besar milik perusahaan, jalan seperti raja tanpa pajak, tanpa plat, dan tanpa tindakan. Hukum macam apa ini?” ungkapnya geram.

Masalah ini bukan sekadar soal pelat nomor. Ini adalah potret ketimpangan struktural yang sudah terlalu lama dinormalisasi. Jalan nasional dibangun dari pajak rakyat. Tapi justru rakyat yang ditekan, sementara perusahaan yang tidak membayar pajak justru dimanjakan.

“Apa gunanya hukum jika hanya berlaku untuk mereka yang tak punya uang? Apa gunanya negara jika tak mampu menertibkan perusahaan besar?”

Traktor-traktor yang menguasai jalan nasional itu adalah simbol dominasi kapital atas ruang publik. Mereka bukan sekadar alat pertanian—mereka adalah representasi dari kuasa modal yang hari ini bergerak tanpa hambatan, karena negara telah lama tunduk pada kepentingan ekonomi elit.

Abdul Razak Konoli bukan hanya menuntut penertiban. Ia sedang membuka mata rakyat: bahwa keadilan hanya akan datang jika rakyat sendiri berani menuntutnya. Karena negara tidak akan pernah berpihak, kecuali rakyat memaksa.

“Jangan biarkan hukum jadi alat pemukul untuk rakyat, sementara jadi perisai bagi pengusaha. Kalau traktor tanpa plat dibiarkan, rakyat berhak curiga: siapa yang dilayani oleh hukum ini sebenarnya?”

Di tengah diamnya aparat dan lemahnya penegakan hukum, suara rakyat seperti Abdul Razak harus diperkuat. Bukan untuk sekadar menegur, tetapi untuk membangun kesadaran kolektif: bahwa keadilan hanya akan hidup jika kita lawan ketidakadilan bersama-sama.