Jamu Sebagai Upaya Menggali Makna Penyembuhan Atas Luka Kolektif Bangsa Terkait Reformasi

POROSNEWS.ID, Jakarta – Hari ini, tanggal 27 Mei adalah Hari Jamu – racikan herbal khas Indonesia. Jamu menyehatkan dan perlahan bisa menyembuhkan banyak penyakit sehingga tubuh bisa sehat kembali. Lalu, apa “Jamu” yang bisa menyembuhkan luka demokrasi akibat gangguan terhadap agenda reformasi?

Presiden Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998 atas tekanan gerakan reformasi. Kemenangan gerakan demokrasi ini tidak boleh dihilangkan, bahkan literasinya harus diperbaiki dengan tinta tebal oleh para perempuan korban kekerasan Mei 98 tersebut.

Ita Nadia – Ketua Sejarah Perempuan Indonesia (SPI) sebelumnya memprotes minimnya tokoh perempuan dalam penulisan sejarah Indonesia selama ini. Sambil protes, dia menyodorkan data para tokoh perempuan di masa lalu yang terlibat dalam gerakan perempuan yang pantas dibukukan pemerintah. Tuntutannya satu – sejarah gerakan perempuan harus dituliskan beserta tokoh-tokohnya juga.

Para perempuan ada di setiap peristiwa sejarah bangsa baik sebagai pelaku maupun sebagai korban. Dalam gerakan reformasi 98, ada perempuan yang berperan aktif sebagai pelaku dalam perlawanan rakyat terhadap kekerasan politik, pembungkaman oposisi, dan perlawanan terhadap otoritarianisme.

Tetapi, ada juga ratusan rakyat perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual di Gerakan Reformasi tersebut. Sehingga, dimensi ini harus ada dalam literasi kebudayaan sebagai pengingat setiap warga negara agar sejarah kelam perlakuan kejam terhadap perempuan tidak terulang.

Bulan Mei sarat peristiwa kebudayaan mulai Hardiknas, Harkitnas, Gerakan Reformasi dan penetapan Hari Jamu – warisan budaya Nusantara pada tanggal 27 Mei. Tidak terlihat politis: jamu — minuman herbal tradisional. Tetapi kebudayaan membutuhkan jamu untuk menyembuhkan dan menyehatkan kesadaran bangsa.

Kita buatkan metafora untuk menyatukan reformasi dan jamu sebagai upaya menggali makna penyembuhan atas luka kolektif bangsa terkait reformasi. Ketika negara tidak konsisten memenuhi agenda reformasi, maka kita harus meracik jamu untuk menguatkan ingatan atas keberadaannya secara presisi. Kita harus meramu jamu melawan lupa demi penyembuhan dan menolak pembuatan jamu untuk mengaborsi reformasi.

Reformasi adalah titik genting dan penting dalam perjalanan demokrasi Indonesia. Rakyat menunjukkan perlawanan terhadap pembungkaman suara oposisi, pembatasan kebebasan berorganisasi dan berekspresi, korupsi, kolusi, nepotisme hingga dwi fungsi TNI-POLRI (ABRI).

Ketiadaan sosok almarhum Ita Martadinata, salah satu korban perkosaan masal terhadap ratusan perempuan Tionghoa dalam Pameran “Sunting, Sejarah Perempuan Indonesia” di Musium Nasional saat ini mengganggu rasa keadilan. Kecenderungan menghilangkan perempuan baik sebagai pelaku maupun korban dalam penulisan sejarah harus dihentikan.

Sangatlah nyata bahwa perempuan harus menuliskan sejarahnya sendiri demi mengabadikan kehadiran mereka dalam perjalanan bangsa. Mungkin karena sejarawan masih didominasi laki-laki yang masih patriarkis sehingga penulisan sejarah selalu bias laki-laki.

Penulisan sejarah yang bias laki-laki adalah “sakit dan luka” yang harus dipahami dalam rasa keutuhan yang nir keadilan sehingga penulisan harus terbuka terhadap perbaikan. Bangsa ini tidak boleh lagi tumbuh dengan kepikunan sejarah yang isinya semata tentang peran laki-laki. Ibaratnya, Sukarno diberi gelar pahlawan sedang peran Inggit Ganarsih yang menghidupi Sukarno dengan berjualan jamu diabaikan.

Perempuan harus meracik jamu untuk mencegah negara melupakan atau bahkan menguburkan mereka. Harus ada jamu melawan lupa amanat reformasi yang di dalamnya ada demokrasi juga untuk para perempuan korban. Bangsa ini harus minum jamu agar sembuh dari berbagai penyakit lupa substansi ideologi dan demokrasi.

Jamu, dalam tradisi Nusantara, adalah simbol kearifan lokal yang menyatukan ilmu pengetahuan, intuisi alam, dan perawatan tubuh. Ia hadir bukan untuk menghapus rasa sakit secara instan, melainkan untuk mengembalikan keseimbangan — secara bertahap, dengan penuh kesabaran. Demikianlah peran perempuan dalam mencari keadilan bagi diri mereka. Menyembuhkan secara perlahan, menyadarkan dan bukan mematikan karena balas dendam.
Seandainya penulisan sejarah adalah penyakit — bias patriarki dan kekuasaan — maka kita membutuhkan jamu penguat ingatan dan pembangkit kesadaran untuk pro keadilan. Kita butuh ramuan sejarah yang diracik dari bahan-bahan seperti kejujuran, keberanian membuka luka, dan keteguhan melawan lupa. Jamu untuk penulisan sejarah yang presisi adalah seruan untuk bangsa agar tidak sekadar meminum nostalgia pahit, tapi belajar meneguk makna dari penderitaan politik diskriminasi dan subordinasi perempuan.

Dalam dunia jamu, setiap bahan punya fungsi: kunyit untuk peradangan, jahe untuk menghangatkan, temulawak untuk pencernaan. Maka dalam penulisan sejarah pun, kita perlu bahan-bahan serupa: arsip sebagai bahan mentah, pendidikan sejarah sebagai alat pengolah, dan kesadaran kritis bagi sejarawan perawisnya dan bagi rakyat sebagai peminumnya.

“Jamu untuk Penulisan Sejarah” adalah ajakan pula untuk kaum perempuan agar menulis sendiri masa lalu mereka layaknya membuat jamu pahit — agar tubuh kebangsaan kita pulih. Kita tidak bisa terus-menerus menyoal hidup dengan luka tersembunyi yang tidak pernah dibersihkan dan difungsikan kembali.

Perempuan harus ikut lantang menyuarakan penderitaannya dalam tulisan sebagai perlawanan yang menyempurnakan kerja kebudayaan. Tetapi yang lebih penting, maukah para sejarawan laki-laki mengakomodasinya? Ini seperti upaya kelompok perempuan dan disabilitas di beberapa kabupaten yang menyelenggarakan musrenbang khusus karena musrenbang yang ada hanya berisi bapak-bapak.

Sayangnya, hasil musrenbang khusus kaum perempuan sering hilang di meja pimpinan politik dan tidak sampai menjadi dokumen Musrenbangnas sehingga pembangunan tidak pernah bisa menyudahi ketimpangan gender. Suara perempuan adalah jamu pahit yang menyembuhkan bangsa dari segala penyakit kebudayaan. Semoga Menteri Kebudayaan dan Tim Penulisan Ulang Sejarah Indonesia berkenan minum jamu pahit demi menyehatkan bangsa.

Eva Sundari – Institut Sarinah