Ide Persatuan Nasional di Balik Pemberian Gelar Pahlawan

Berita Utama83 Dilihat

POROSNEWS.ID – Pemerintahan Prabowo Subianto – Gibran Rakabuming Raka tampaknya berupaya menunjukkan arah politik kenegaraan yang mengedepankan semangat persatuan nasional. Salah satu langkah simbolik yang kuat di awal tahun kedua, pemerintahannya adalah pemberian gelar pahlawan nasional kepada sepuluh tokoh dari latar belakang yang sangat beragam — mulai dari kalangan agamawan, negarawan, pejuang kemerdekaan, hingga aktivis buruh dan pembela hak asasi manusia.

Langkah ini bukan sekadar seremoni tahunan menjelang peringatan Hari Pahlawan. Ia adalah pesan politik yang disampaikan secara halus namun tegas: bahwa bangsa Indonesia harus melangkah ke depan dengan satu tekad, satu arah, dan satu semangat — persatuan.

Merangkul Semua Spektrum Bangsa

Dalam konteks politik nasional, langkah pemerintahan Prabowo–Gibran dapat dibaca sebagai usaha merangkul semua spektrum masyarakat. Dengan latar belakang politik yang sempat dipenuhi kontestasi tajam selama beberapa tahun terakhir, simbol-simbol persatuan menjadi penting untuk meredakan ketegangan dan menumbuhkan rasa kebersamaan kembali.
Pemberian gelar pahlawan kepada tokoh-tokoh dengan afiliasi ideologis, sosial, dan politik yang berbeda merupakan wujud nyata dari upaya itu. Ini adalah pesan bahwa negara kini ingin berdiri di atas semua golongan. Bahwa penghargaan terhadap jasa seseorang tak lagi diukur dari posisi politiknya di masa lalu, tetapi dari kontribusinya bagi kemanusiaan dan bangsa secara keseluruhan.

Bukan Ajakan untuk Melupakan Masa Lalu
Namun, langkah ini bukan ajakan untuk melupakan masa lalu. Sejarah tetaplah sejarah — dengan segala luka, konflik, dan perdebatan yang mengiringinya. Tetapi di atas fondasi pengalaman masa lalu itulah bangsa ini dapat melangkah maju.

Pemerintahan baru tampaknya memahami bahwa untuk menatap masa depan Indonesia yang lebih maju — dengan visi “lompatan jauh ke depan” di bidang ekonomi, teknologi, dan kedaulatan nasional — dibutuhkan stabilitas sosial dan politik yang kokoh. Dan stabilitas itu hanya dapat tumbuh dari semangat saling memahami, saling memaafkan, dan bekerja bersama.
Artinya, penghargaan kepada para tokoh dari berbagai latar belakang bukan untuk menghapus perbedaan, tetapi untuk mendahulukan kepentingan bangsa di atas kepentingan kelompok.

Persatuan Nasional sebagai Kunci

Indonesia sedang berada pada titik penting sejarahnya. Krisis global, perubahan iklim, disrupsi teknologi, dan ketegangan geopolitik menuntut keteguhan arah nasional. Dalam situasi seperti ini, persatuan nasional bukan hanya slogan, melainkan kebutuhan mutlak.

Prabowo–Gibran tampaknya ingin mengirimkan pesan bahwa masa depan Indonesia tak akan ditentukan oleh satu pihak atau satu golongan, tetapi oleh seluruh elemen bangsa yang mau bekerja sama. Bahwa untuk membawa Indonesia menuju kemajuan, semua pihak harus bersedia menurunkan ego dan memperluas horizon kebangsaan.

Langkah simbolik seperti pemberian gelar pahlawan nasional bisa menjadi awal dari rekonsiliasi kebangsaan yang lebih luas — jika diikuti dengan kebijakan nyata yang mencerminkan keberpihakan kepada seluruh rakyat.

Komposisi yang Beragam

Daftar sepuluh tokoh penerima gelar pahlawan tahun ini menunjukkan keberagaman luar biasa. Ada tokoh agama yang dikenal karena dakwah moderatnya, ada pejuang perempuan yang memperjuangkan hak-hak kaum buruh, ada pemimpin politik yang kontroversial namun berperan besar dalam demokratisasi, hingga sosok militer yang dikenal tegas menjaga kedaulatan negara.

Dari keberagaman itu, publik membaca adanya upaya serius pemerintah untuk mengapresiasi seluruh sisi perjalanan bangsa. Seolah ingin berkata: tidak ada satu pun kelompok yang berhak mengklaim kebenaran tunggal tentang Indonesia. Semua pihak — baik dari kalangan Islam, nasionalis, militer, buruh, maupun aktivis hak asasi manusia — telah memberikan sumbangan penting bagi berdirinya republik ini.

Gus Dur dan Marsinah: Simbol Keberanian dan Kemanusiaan

Di antara nama-nama penerima gelar tahun ini, dua tokoh menonjol karena mewakili semangat progresif: Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan Marsinah.

Gus Dur adalah simbol kemanusiaan universal. Ia membela minoritas, membuka ruang dialog lintas agama, dan menolak segala bentuk diskriminasi. Ia juga berani mengambil risiko politik demi menegakkan nilai-nilai keadilan dan pluralisme. Dengan menjadikannya pahlawan nasional, negara seolah mengafirmasi nilai-nilai kebinekaan yang menjadi fondasi Indonesia.

Marsinah, di sisi lain, adalah simbol perjuangan kelas pekerja. Ia dibunuh karena keberaniannya memperjuangkan hak-hak buruh perempuan di era represif. Dengan gelar pahlawan nasional, perjuangannya kini diakui sebagai bagian dari sejarah besar bangsa — bukan sekadar catatan kelam yang dilupakan.

Kedua tokoh ini mengingatkan bahwa pahlawan bukan hanya mereka yang memegang senjata, tetapi juga mereka yang berani menegakkan keadilan dan kemanusiaan, meskipun harus menanggung risiko terbesar.

Dukungan Semua Elemen Bangsa

Bagi pemerintah, simbol-simbol seperti ini tidak akan berarti banyak jika tidak diikuti dengan dukungan nyata dari masyarakat. Program besar pembangunan, kedaulatan pangan, penguatan industri pertahanan, dan transformasi ekonomi hanya bisa terwujud jika seluruh elemen bangsa — baik sipil maupun militer, nasionalis maupun religius, pengusaha maupun buruh — bersatu dalam satu visi.

Pemerintah membutuhkan dukungan moral dan politik dari seluruh lapisan masyarakat agar langkah-langkah besar menuju kemandirian nasional dapat dijalankan dengan mantap. Dalam konteks ini, pemberian gelar pahlawan menjadi bagian dari strategi moral-politik untuk membangun rasa percaya dan kebersamaan.

Catatan Kritis: Konsistensi dalam Merangkul Semua Spektrum

Meski demikian, semangat merangkul semua spektrum bangsa tentu harus diikuti dengan konsistensi. Jika negara benar-benar ingin membuka ruang bagi semua ide dan gagasan demi kepentingan bangsa, maka sudah saatnya mempertimbangkan kembali kebijakan yang masih menutup sebagian ruang berpikir dalam sejarah nasional.

Salah satu catatan penting yang sering disuarakan para akademisi adalah keberlakuan TAP MPR No. XXV/1966 yang melarang penyebaran ajaran Marxisme-Leninisme. Dalam konteks kekinian, pelarangan itu kerap menimbulkan tafsir luas dan digunakan untuk membungkam diskusi akademik atau ekspresi kebudayaan yang tidak berbahaya.

Jika pemerintah ingin benar-benar konsisten dengan semangat persatuan nasional dan rekonsiliasi sejarah, maka membuka kembali ruang dialog tentang masa lalu — termasuk ide-ide yang dulu dianggap tabu — adalah langkah penting. Tentu bukan untuk menghidupkan ideologi lama, tetapi untuk meneguhkan kematangan bangsa dalam berpikir secara terbuka dan kritis.

Penutup
Pemberian gelar pahlawan nasional tahun ini adalah langkah simbolik yang sarat makna. Ia bukan sekadar penghormatan terhadap para tokoh, melainkan pernyataan arah politik kebangsaan: bahwa masa depan Indonesia hanya bisa dibangun di atas fondasi persatuan, kebinekaan, dan saling pengertian.

Dalam semangat itu, bangsa ini diajak untuk tidak lagi terjebak pada pertikaian masa lalu, melainkan bersatu untuk melakukan lompatan besar menuju masa depan. Namun, simbol hanya akan bermakna jika diikuti konsistensi: keadilan bagi semua, penghargaan terhadap perbedaan, dan keberanian untuk berpikir terbuka demi kemajuan Indonesia.