Diskresi untuk Efektivitas Pemerintahan: Kekompakan Tim Kerja Lebih Penting dari Asumsi Konflik Kepentingan

Bonebolango70 Dilihat

POROSNEWS.ID, Bone Bolango – Merespons tuduhan nepotisme dengan fakta kinerja dan urgensi Pemerintahan dengan memahami konteks, yang bukan hanya tulisan, oleh saudara Fanly Katili tentang pengangkatan anak Bupati Bone Bolango dalam Tim Kerja Bupati, telah memicu perdebatan publik. Namun, analisis tersebut tampak terjebak dalam pembacaan tekstual peraturan perundang-undangan tanpa mempertimbangkan konteks operasional pemerintahan yang sesungguhnya.

Kritik yang dibangun atas dasar “konflik kepentingan” dan “nepotisme” perlu dijawab dengan perspektif yang lebih komprehensif. Efektivitas kerja pemerintahan yang membutuhkan kekompakan tim, kepercayaan, dan kecepatan dalam pengambilan keputusan.

Diskresi Adalah Ruang Gerak untuk Efektivitas, Bukan Pelanggaran

UU 30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan memberikan diskresi kepada pejabat publik justru untuk mengisi kekosongan hukum dan mengatasi persoalan konkrit demi kepentingan umum. Pasal 22 ayat (1) menegaskan bahwa diskresi dapat dilakukan dalam kondisi:

– Peraturan perundang-undangan yang memberikan suatu pilihan
– Peraturan perundang-undangan yang tidak mengatur
– Peraturan perundang-undangan yang tidak jelas
– Adanya stagnasi pemerintahan

Faktanya, tidak ada satu pun peraturan yang secara eksplisit melarang pengangkatan keluarga dalam Tim Kerja (bukan jabatan struktural), justru disinilah ruang diskresi bekerja.

Saudara Fanly Katili mengutip Pasal 24 yang melarang diskresi dalam kondisi tertentu, namun melupakan bahwa larangan tersebut harus dibuktikan secara konkret bukan diasumsikan. Konflik kepentingan tidak otomatis hadir hanya karena ada hubungan keluarga, ia harus ditunjukkan dalam bentuk tindakan yang merugikan kepentingan publik.

Membedakan Tim Kerja dengan Jabatan Struktural

Kritik yang disampaikan tampak mencampuradukkan antara jabatan struktural (yang memang diatur ketat dalam sistem kepegawaian) dengan Tim Kerja Bupati (yang bersifat ad-hoc dan berbasis kepercayaan).

Tim Kerja Bupati bukanlah jabatan eselon. Ia adalah instrumen untuk:
– Mempercepat koordinasi program prioritas
– Membangun komunikasi internal yang solid
– Memastikan instruksi kepala daerah tersampaikan dengan akurat

Dalam konteks ini, kekompakan dan kepercayaan menjadi prasyarat utama. Bupati berhak memilih orang-orang yang ia percaya mampu bekerja dengan ritme dan visi yang sama, termasuk jika orang tersebut adalah keluarganya, selama tidak melanggar aturan formal dan tidak merugikan publik.

Asumsi Konflik Kepentingan Tanpa Bukti Adalah Argumentum Ad Hominem

Saudara Fanly Katili menyebut bahwa melantik anak kandung jelas merupakan konflik kepentingan. Ini adalah kesimpulan prematur yang tidak didukung bukti empiris.

Sementara, konflik kepentingan baru terjadi jika,
1. Ada pengambilan keputusan yang menguntungkan pribadi/keluarga secara material
2. Ada penyalahgunaan anggaran atau kewenangan
3. Ada kebijakan yang dibuat untuk kepentingan pribadi, bukan publik

Hingga saat ini, tidak ada bukti bahwa pengangkatan tersebut menghasilkan kerugian negara atau kebijakan yang menyimpang. Justru yang perlu dilihat adalah Apakah kinerja pemerintahan meningkat? Apakah program berjalan efektif? Apakah ada keluhan konkret dari masyarakat?

Jika jawabannya tidak, maka tuduhan nepotisme hanyalah asumsi moral yang tidak berbasis pada fakta hukum.

Prinsip AUPB Tidak Boleh Kaku, Harus Kontekstual

Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB) memang melarang keberpihakan dan penyalahgunaan wewenang. Namun, AUPB juga mengandung asas efisiensi dan efektivitas (Pasal 10 ayat 1 huruf i dan j UU 30/2014).

Dalam praktik pemerintahan modern, efektivitas koordinasi sering kali lebih penting daripada formalitas prosedural. Kepala daerah yang memimpin dengan tim yang kompak, loyal, dan memahami visinya secara mendalam akan menghasilkan kinerja yang lebih baik dibandingkan tim yang terkotak-kotak karena formalitas birokratis.

Pertanyaan kuncinya bukan pada apakah ada hubungan keluarga? Melainkan Apakah kebijakan ini menghasilkan tata kelola yang lebih baik bagi rakyat?

Kepanikan Justru Ada pada Pihak yang Terlalu Cepat Menghakimi

Saudara Fanly Katili menyebut bahwa kuasa hukum Pemda “mengonfirmasi kepanikan”. Namun, bukankah kepanikan justru terlihat dari pihak yang terburu-buru melabeli sebuah kebijakan sebagai nepotisme tanpa menunggu evaluasi kinerja?

Hukum administrasi negara bukan hanya soal larangan, ia juga soal memberikan ruang bagi pejabat untuk berinovasi dan bekerja efektif. Jika setiap kebijakan yang melibatkan keluarga langsung dicap negatif, maka pemerintahan akan kehilangan fleksibilitas yang justru diperlukan untuk melayani publik.

Publik Butuh Kinerja, Bukan Debat Tekstual

Perdebatan hukum yang terlalu akademis sering kali jauh dari realitas kebutuhan masyarakat. Rakyat tidak peduli apakah Bupati mengangkat keluarganya atau bukan mereka peduli apakah jalan diperbaiki, apakah layanan publik meningkat, apakah program berjalan tepat waktu.

Jika kinerja pemerintahan Bone Bolango membaik dengan konfigurasi Tim Kerja yang ada, maka itulah justifikasi terkuat dari kebijakan ini.

Hukum Harus Melayani Realitas, Bukan Sebaliknya

Diskresi diberikan kepada kepala daerah bukan sebagai “alibi nepotisme”, tetapi sebagai instrumen untuk efektivitas pemerintahan. Selama tidak ada bukti penyalahgunaan wewenang, kerugian negara, atau keluhan publik yang nyata, maka pengangkatan seseorang dalam Tim Kerja apapun latar belakangnya adalah hak prerogatif kepala daerah.

Hukum yang baik adalah hukum yang tidak membunuh inovasi dan efektivitas pemerintahan dengan formalitas yang kaku. Dan pemerintahan yang baik adalah pemerintahan yang berani mengambil keputusan berdasarkan kebutuhan riil, bukan hanya takut pada asumsi konflik kepentingan yang belum terbukti.

Mari kita nilai kebijakan berdasarkan hasil, bukan prasangka. Mari kita biarkan fakta lapangan berbicara, bukan hanya pasal-pasal yang diinterpretasikan sepihak

Penulis : Rio Potale, SH – Tim Kuasa Hukum Pemda Bone Bolango.