RAPBN 2026 : Optimisme Indonesia Di Atas Sejumlah Tantangan

POROSNEWS.ID, Jakarta – “APBN adalah wujud negara hadir untuk rakyat.” Poin itu berulang kali disampaikan Presiden Prabowo Subianto dalam pidato RAPBN 2026 dan Nota Keuangan di hadapan DPR, persis sebelum Indonesia merayakan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan ke-80. Ia hadir dengan semangat optimisme, membacakan capaian sekaligus target ambisius: ketahanan pangan, transisi energi, makan bergizi gratis, perumahan rakyat, pendidikan, kesehatan, koperasi, hingga pertahanan rakyat semesta.

Pidato itu memberi harapan. Setelah era panjang ekonomi yang bertumpu pada utang dan ekspor bahan mentah, Presiden ingin meletakkan fondasi baru: kemandirian nasional. Namun, di balik optimisme itu, tersimpan pertanyaan klasik: mampukah janji-janji besar itu benar-benar diwujudkan?

Presiden menegaskan target swasembada beras dan jagung, pemangkasan regulasi pupuk, serta peningkatan cadangan Bulog. Apresiasi patut diberikan: pangan adalah jantung kedaulatan bangsa. Krisis pangan global akibat perang Ukraina–Rusia sudah mengingatkan betapa rapuh ketergantungan impor.

Namun, pengalaman masa lalu menunjukkan: masalah utama bukan sekadar produksi, tapi distribusi dan tata kelola. Mafia pupuk tetap bercokol, petani kecil kesulitan mengakses pupuk bersubsidi, dan harga di pasar tidak stabil.

Pada titik ini, tantangan yang dihadapi Presiden Prabowo adalah bagaimana menempatkan petani kecil sebagai subjek utama untuk mewujudkan ketangguhan pangan. Jika hilirisasi pangan hanya dinikmati korporasi besar atau kelompok tertentu, rakyat tetap akan menjadi penonton.

Pidato Presiden Prabowo tentang target energi baru terbarukan (EBT) 100% dalam waktu singkat mengejutkan banyak pihak. Indonesia bahkan melampaui target global (net zero 2060) dengan ambisi mencapai kemandirian energi dalam satu dekade.

Visi ini menginspirasi. Namun, berkaca pada pengalaman, problemnya ada pada implementasi. Proyek smelter nikel atau PLTA skala raksasa memperlihatkan bagaimana transisi hijau bisa dibajak oleh oligarki. Energi bersih yang dikuasai segelintir konglomerat tetap akan melahirkan ketimpangan.

Jika ingin transisi hijau ini berjalan sesuai visi besar kesejahteraan rakyat, transisi energi harus berbasis komunitas. PLTS atap untuk rumah tangga, koperasi energi desa, pemanfaatan bioenergi dari sampah organik, hingga micro-hydro di pedalaman. Tanpa itu, energi bersih hanya akan jadi “label hijau” yang tetap berpihak pada pemodal besar.

Program MBG adalah salah satu janji kampanye terbesar Presiden Prabowo. Dengan target 82,9 juta anak menerima makanan bergizi di sekolah, program ini bisa menjadi game changer melawan stunting.

Namun, masalahnya terletak pada rantai suplai. Jika distribusi bahan makanan dikuasai vendor besar, petani kecil lagi-lagi tersisih. Agar petani kecil tidak tersisih, MBG harus menjadi ekosistem yang menghidupkan ekonomi rakyat.
Sekolah harus disuplai oleh koperasi petani, nelayan, dan UMKM lokal. Bayangkan sebuah sekolah di NTT mendapat pasokan sayur dari kebun warga, ikan dari koperasi nelayan, susu dari peternak lokal. Program ini tidak hanya menyehatkan anak, tapi juga memutar ekonomi desa.

Pendidikan mendapat anggaran 20% dari APBN. Presiden menyebut beasiswa LPDP, Sekolah Rakyat, hingga Sekolah Unggul.

Optimisme tumbuh di sini: pendidikan bisa menjadi pintu keluar dari kemiskinan. Meski begitu, tantangannya adalah seringkali pendidikan vokasi sering kali tidak selalu relevan dengan pasar kerja. Kualitas guru masih timpang, terutama di daerah terpencil.

Tantangan yang perlu dihadapi presiden: pendidikan tidak boleh sekadar menyiapkan buruh murah bagi industri. Pendidikan rakyat harus memerdekakan: mencetak anak-anak yang kritis, kreatif, dan berakhlak.

Anggaran kesehatan Rp 244 triliun adalah langkah berani. Program Cek Kesehatan Gratis dan penguatan JKN memberi harapan.

Namun, tantangan nyata adalah distribusi tenaga medis dan kualitas fasilitas di daerah. Banyak rumah sakit daerah kekurangan dokter spesialis, sementara RS di kota besar menumpuk pasien.
Kesehatan harus dipahami sebagai hak, bukan sekadar layanan. Fokus harus bergeser dari kuratif ke preventif: posyandu aktif, edukasi gizi, kampanye olahraga murah.

Pidato Presiden tentang 80.000 koperasi Merah Putih adalah salah satu yang paling inspiratif. Ia kembali pada Pasal 33 UUD 1945: “perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.”

Tapi sejarah juga mengingatkan, koperasi sering gagal. Banyak yang hanya papan nama, dijadikan proyek birokrasi, atau dikapling elite lokal.
Yang harus dilakukan Presiden agar koperasi benar-benar dimiliki rakyat : cukup beri regulasi dan pendampingan, lalu biarkan rakyat yang mengelola, bukan pejabat.

Presiden menekankan pertahanan rakyat semesta, sekaligus modernisasi alutsista. Ini relevan dengan sejarah bangsa yang lahir dari gerilya.

Namun, pertahanan rakyat tidak boleh sebatas jargon. Partisipasi warga harus nyata: bela negara bukan hanya angkat senjata, tapi juga swasembada pangan, energi, solidaritas sosial. Dengan begitu, pertahanan rakyat semesta akan membumi dan mengakar.

Backlog perumahan mencapai 12 juta unit. Pidato Presiden Prabowo menjanjikan 770 ribu rumah di 2026, dengan dukungan FLPP, BSPS, dan Tapera.

Langkah ini patut diapresiasi. Namun, pekerja informal masih sulit mengakses kredit. Tanpa slip gaji, mereka tidak memenuhi syarat bank.
Pemerintah perlu mengembangkan koperasi perumahan, skema tabungan gotong royong, dan model sewa-milik agar para pekerja informal juga bisa mendapatkan kesempatan mendapatkan rumah layak. Rumah harus dipandang sebagai hak, bukan sekadar aset finansial.

Presiden menekankan efisiensi: pemangkasan komisaris BUMN, tantiem, hingga target defisit rendah. Ini langkah penting untuk mengembalikan kepercayaan publik.

Namun, reformasi BUMN sering tersandung kepentingan politik. Poinnya, keberhasilan hanya bisa dicapai lewat transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi rakyat.

Pidato Presiden Prabowo di Hari Ulang Tahun Kemerdekaan ke-80 memberi arah baru. Kita harus mendukung optimisme itu. Namun, kita juga tahu: keberhasilan bukan diukur dari besar janji, tapi konsistensi implementasi.

Spirit kemerdekaan adalah pengingat: negara lahir untuk melindungi yang kecil, bukan mengabdi pada yang besar.

RAPBN 2026 bisa menjadi momentum emas bangsa ini untuk benar-benar berdikari, sesuai cita-cita 17 Agustus 1945.

Dukungan dan partisipasi kita sebagai warga negara kepada pemerintahan Presiden Prabowo beserta seluruh perangkat pemerintahannya amatlah penting agar berbagai tantangan tersebut bisa diatasi. Kita ingin agar cita-cita kemerdekaan sejati bangsa Indonesia, yang telah diproklamasikan dengan tegas oleh para founding parents dan akan diteruskan oleh Presiden Prabowo, benar-benar terwujud : bebas dari belenggu kemiskinan, kebodohan, dan ketidakadilan. Merdeka!!