Kemiskinan Bukan Takdir : Menimbang Arah Kebijakan Pengentasan Kemiskinan

Berita Utama195 Dilihat

POROSNEWS.ID – Anak miskin bukan kutukan. Mereka adalah warga negara yang memiliki hak yang sama untuk tumbuh, bermimpi, dan menjadi manusia seutuhnya. Negara, lewat tangannya yang paling konkret—kebijakan publik—harus memastikan itu bukan sekadar cita-cita, tapi kenyataan yang hadir di kampung-kampung, di sekolah-sekolah, dan di meja makan setiap keluarga.

Tesis ini menuding langsung kepada pernyataan Wakil Menteri Sosial, Agus Jabo Priyono, beberapa waktu lalu bahwa anak yang lahir dari orang tua miskin sudah dipastikan miskin. Publik bereaksi keras dan berbondong-bondong memberi tanggapan sinis.

Sekilas, ucapan ini terdengar fatalistik, seolah menegaskan bahwa garis nasib seseorang sudah ditentukan sejak lahir. Banyak pihak kemudian mengkritik: bagaimana mungkin seorang pejabat negara secara terang-terangan menyatakan pesimisme seperti itu? Bukankah negara justru seharusnya hadir untuk membuka peluang dan meretas kemiskinan antargenerasi?

Namun, seperti halnya kutipan yang lepas dari konteks, pernyataan ini layak dibaca ulang secara lebih jernih. Jika kita cermati, yang disampaikan oleh Wamensos bukanlah semacam pembiaran atau pembenaran atas kondisi kemiskinan struktural, melainkan sebuah pengakuan atas kenyataan empiris: bahwa mobilitas sosial di Indonesia masih terhambat, dan anak-anak dari keluarga miskin memang menghadapi kemungkinan besar untuk tetap miskin ketika dewasa. Ini adalah hasil dari berbagai penelitian, bukan sekadar pendapat pribadi.

Fenomena “kemiskinan yang diwariskan” bukan hal baru dalam studi pembangunan. Dalam kajian ekonomi-politik dan sosiologi, ini dikenal sebagai intergenerational poverty transmission atau kemiskinan antargenerasi. Mekanismenya kompleks: bukan hanya soal penghasilan orang tua yang rendah, tetapi juga menyangkut kualitas pendidikan, status sosial, akses terhadap pelayanan dasar, serta pengaruh lingkungan tempat tinggal dan jaringan sosial.

Salah satu studi penting tentang hal ini dilakukan oleh Smeru Research Institute dalam Destined for Destitution: Intergenerational Poverty Persistence in Indonesia (Pakpahan, Suryadarma & Suryahadi, 2008). Studi ini menunjukkan bahwa anak-anak dari keluarga miskin kronis memiliki kemungkinan yang secara statistik signifikan lebih besar untuk tetap berada dalam lingkaran kemiskinan ketika dewasa. Mereka mengalami keterbatasan akses pada kualitas pendidikan, kesehatan, gizi, dan kesempatan kerja.

Demikian pula riset Bank Dunia yang dipublikasikan lewat Policy Research Working Paper 9559 (Akresh, Halim & Kleemans, 2021), menunjukkan bagaimana pembangunan sekolah dasar pada 1970-an berdampak positif secara jangka panjang terhadap mobilitas sosial ekonomi masyarakat. Artinya, ketika negara menyediakan intervensi struktural melalui pendidikan yang bermutu dan merata, maka peluang mobilitas sosial meningkat secara signifikan.

Dengan kata lain, pernyataan Wamensos adalah sebuah realitas pahit yang justru seharusnya menjadi dasar moral dan politik untuk mempercepat reformasi struktural. Ucapan itu sebetulnya punya dasar ilmiah, meski persoalannya bukan semata pada kebenaran ucapannya, tetapi pada respons yang harus dibangun: apakah negara akan membiarkan ini sebagai keniscayaan, atau menjadikannya pijakan untuk bergerak?

Kritik publik terhadap pernyataan Wamensos bisa dimaklumi. Dalam konteks Indonesia pasca-Orde Baru, rakyat semakin sensitif terhadap narasi yang terkesan menyalahkan korban. Namun penting juga untuk melihat langkah-langkah konkret yang sedang diupayakan oleh pemerintah untuk memutus rantai kemiskinan ini.

Salah satu instrumen yang kini sedang diperkuat adalah Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS), yang kemudian dikembangkan lebih lanjut menjadi DTSEN (Data Tunggal Sosial Ekonomi Nasional). Inisiatif ini berupaya memutakhirkan dan mensinkronkan data kemiskinan dan kerentanan sosial di Indonesia agar program perlindungan sosial lebih tepat sasaran, akurat, dan tidak tumpang tindih. Keberadaan DTSEN memungkinkan intervensi berbasis data, bukan asumsi.

Selain itu, pendekatan yang mulai dikembangkan adalah pembangunan Sekolah Rakyat—sebuah alternatif dari sistem pendidikan konvensional yang sering kali gagal menjangkau anak-anak dari keluarga marginal, terutama di kawasan rural dan kawasan 3T (Tertinggal, Terdepan, dan Terluar). Sekolah rakyat tidak hanya menjadi tempat belajar formal, tetapi juga menjadi ruang pembentukan kesadaran kritis, pengembangan keterampilan hidup, dan solidaritas sosial.

Jika kebijakan-kebijakan ini dikawal dengan sungguh-sungguh, maka bukan mustahil kita menyaksikan transformasi sosial dalam skala luas. Namun tentu saja, ini membutuhkan lebih dari sekadar proyek. Ia membutuhkan komitmen ideologis—yakni pandangan bahwa negara harus hadir bukan sebagai penyedia karitas, tetapi sebagai penggerak keadilan sosial.

Kita tidak bisa terus-menerus melihat kemiskinan sebagai aib atau sekadar masalah moral. Kita harus melihatnya sebagai problem struktural yang perlu dipecahkan secara kolektif. Pernyataan Wamensos, alih-alih kita tolak mentah-mentah, sebaiknya dijadikan pintu masuk untuk diskusi yang lebih serius tentang arah pembangunan kita hari ini.

Apakah kita masih berpegang pada paradigma bahwa kemiskinan adalah kesalahan pribadi dan keluarga? Atau sudah saatnya kita mengakui bahwa ketimpangan sistemik-lah yang membuat sebagian besar anak miskin tetap miskin? Jika jawaban kita adalah yang kedua, maka negara dan masyarakat harus bahu membahu—membangun sistem yang adil, bukan sekadar menyantuni si miskin.

Penting juga untuk menantang narasi-narasi deterministik. Memang benar bahwa secara statistik, anak miskin berpeluang besar tetap miskin. Tetapi itu bukanlah hukum alam. Itu adalah konsekuensi dari kebijakan yang gagal mengintervensi struktur ketimpangan. Artinya, ia bisa diubah—jika ada kehendak politik dan keberpihakan sosial yang kuat.

Semestinya kita membuka ruang bagi percakapan yang lebih jujur dan bernas. Kita perlu berani mengakui kenyataan yang pahit, namun tak boleh berhenti di sana. Karena politik yang baik bukanlah yang menutupi luka sosial, melainkan yang menyembuhkan dan memperjuangkan kehidupan yang lebih layak untuk semua.

Kita harus kembali pada mandat dasar konstitusi: bahwa negara bertanggung jawab atas fakir miskin dan anak terlantar, dan bahwa setiap warga negara berhak atas pendidikan, pekerjaan, dan penghidupan yang layak. Pernyataan pejabat publik semestinya tidak berhenti sebagai komentar, tetapi diikuti oleh keberanian untuk mengambil kebijakan yang berpihak dan mengakar.