POROSNEWS.ID, Gorontalo – Di ujung barat Kecamatan Tolangohula Kabupaten Gorontalo, tepatnya di Desa Polohungo, ada satu jembatan tua yang kini tinggal kenangan. Bukan sekadar rangka besi atau papan kayu, jembatan itu adalah nadi kehidupan. Ia menghubungkan warga dengan dunia luar seperti sekolah, pasar, rumah sakit, dan pusat pemerintahan. Tapi hari ini, jembatan itu ambruk. Dan bersama runtuhnya jembatan, harapan warga pun ikut roboh.
Setiap musim hujan, sungai meluap. Air mengamuk, menelan jalanan dan mengisolasi satu desa penuh manusia. Anak-anak terpaksa absen sekolah. Petani tak bisa menjual hasil panennya. Orang sakit terkurung, menunggu air surut, berdoa semoga nyawanya bisa bertahan hingga saat itu tiba.
Warga terpaksa mengangkat motor bersama-sama, menyusuri derasnya arus demi bisa menyebrang. “Kami seperti dipenjara di desa sendiri,” ungkap Abdul Razak Konoli, Ketua Eksekutif LMND Gorontalo, sekaligus anak kampung Polohungo yang menyaksikan sendiri bagaimana desanya dilupakan negara.
Sudah banyak yang hampir hanyut. Ada yang jatuh. Ada yang nyaris meregang nyawa. Tapi pemerintah daerah, khususnya Dinas PUPR, masih menutup mata, seolah telinga mereka tak lagi sanggup mendengar jerit rakyat yang tertinggal.
Polohungo tidak minta istana. Mereka tidak minta jalan tol. Mereka hanya minta satu jembatan—penghubung sederhana yang bisa menyelamatkan masa depan anak-anak, menjaga hasil panen tetap bernilai, dan memastikan ibu hamil bisa sampai ke puskesmas.
Tapi apa daya, suara-suara dari kampung seperti Polohungo sering kali kalah nyaring dibanding tepuk tangan di ruang-ruang rapat mewah. Mereka disuruh sabar. Tapi sabar tidak bisa menyambung nyawa. Sabar tidak bisa mengangkat motor ke seberang sungai. Sabar tidak bisa mengganti anak-anak yang tenggelam dalam ketertinggalan.
Jembatan itu kini bukan sekadar bangunan yang rusak. Ia telah berubah menjadi simbol: simbol keterasingan, pengabaian, dan ketidakpedulian negara pada rakyatnya sendiri.
Dan mungkin, sampai ada yang benar-benar mati, barulah negara akan datang—seperti biasa, terlambat.