Dari Bansos Menuju Pemberdayaan Saatnya Reformasi Sistemik

POROSNEWS.ID, Jakarta – Baru-baru ini, Menteri Koordinator Bidang Pemberdayaan Masyarakat, Muhaimin Iskandar (Cak Imin), dan Ketua Dewan Ekonomi Nasional, Luhut Binsar Pandjaitan, secara terbuka menyampaikan kritik tajam terhadap efektivitas program bantuan sosial (bansos) pemerintah. Keduanya mengungkapkan bahwa anggaran bansos yang mencapai lebih dari Rp500 triliun belum menunjukkan hasil yang nyata dalam pemberdayaan masyarakat. Bahkan, Luhut menyebut hanya separuh dari anggaran tersebut yang benar-benar sampai kepada rakyat yang berhak. Pernyataan ini memicu perdebatan publik tentang bagaimana kebijakan sosial dijalankan dan apakah benar-benar berdampak jangka panjang.

Anggaran sebesar Rp 500 triliun adalah refleksi komitmen negara untuk memelihara rakyat miskin dan rentan, sebagaimana diamanatkan Pasal 34 UUD 1945. Namun, besarnya anggaran bukan jaminan keberhasilan. Masih banyak tantangan mendasar yang mengemuka: mulai dari ketidaktepatan sasaran, data yang tumpang tindih, hingga hasil yang belum menyentuh inti persoalan—yakni pemberdayaan masyarakat agar keluar dari kemiskinan secara berkelanjutan.

Selama ini, program bansos kerap diukur dari berapa banyak bantuan yang tersalur, bukan apa dampaknya bagi perubahan hidup penerima. Bantuan tunai, bantuan pangan, dan berbagai subsidi memang membantu meringankan beban sesaat, tetapi tanpa kerangka pemberdayaan yang kuat, rakyat hanya diajak bertahan, bukan bangkit. Padahal, tujuan hakiki dari kebijakan sosial adalah menciptakan transformasi: mengurangi ketergantungan dan memperkuat kemandirian.

Salah satu akar masalah adalah fragmentasi program dan lemahnya integrasi data. Selama bertahun-tahun, berbagai kementerian dan lembaga menjalankan program sosial secara terpisah, tanpa basis data yang solid dan terintegrasi. Akibatnya, terjadi data ganda, penerima tidak layak lolos, bahkan ada yang benar-benar berhak tapi tak pernah tersentuh bantuan. Pemerintah saat ini tengah mengembangkan Data Terpadu Sosial dan Ekonomi Nasional (DTSEN)—upaya penting yang layak didukung agar seluruh program bansos berbasis pada data yang mutakhir dan presisi. Reformasi data harus menjadi prioritas utama jika kita ingin membangun fondasi bansos yang efektif dan adil.

Namun, integrasi data saja tidak cukup. Bansos harus memiliki jalur keluar—exit strategy—yang jelas. Program bansos idealnya terhubung dengan pendidikan, pelatihan keterampilan, akses modal usaha, dan skema pemberdayaan ekonomi lainnya. Misalnya, keberhasilan program Sekolah Rakyat sebagai salah satu contoh bansos yang juga memuat pemberdayaan melalui pendidikan dapat dijadikan inspirasi: rakyat tidak hanya dibantu dalam kebutuhan pokok, tetapi juga diberi bekal untuk memutus rantai kemiskinan. Inilah esensi “mencerdaskan kehidupan bangsa” dalam makna yang utuh.
Dalam konteks ini, ada tiga hal mendesak yang harus dikawal bersama oleh seluruh komponen masyarakat :
1. Pertama, memastikan DTSEN benar-benar rampung dan menjadi standar tunggal yang digunakan semua kementerian/lembaga. Tanpa standar data terpadu, kebijakan sosial akan selalu pincang.
2. Kedua, mendesak transparansi anggaran bansos secara penuh, dengan audit independen yang terbuka bagi publik. Setiap rupiah yang digelontorkan harus dapat dipertanggungjawabkan secara administratif dan moral.
3. Ketiga, mendorong penerapan indikator keberhasilan berbasis dampak (impact-based), bukan sekadar output. Tidak cukup hanya melaporkan “berapa bansos tersalur,” pemerintah harus mulai menjawab: berapa keluarga yang berhasil mandiri dan keluar dari kemiskinan setelah menerima bansos?

Kita perlu kembali mengingat pesan Bung Karno yang relevan hingga hari ini: “Kemiskinan adalah musuh revolusi. Kita tidak bisa bicara kemerdekaan sejati jika rakyat kita masih hidup dalam kemiskinan dan ketidakberdayaan.” Pesan ini menegaskan bahwa perjuangan bangsa tidak hanya berhenti pada kemerdekaan politik, tetapi harus berlanjut pada kemerdekaan ekonomi—dan itu hanya bisa dicapai jika kebijakan sosial kita benar-benar membebaskan, bukan membelenggu dengan ketergantungan.

Saat ini adalah momentum yang tepat untuk memperbaiki sistem bansos secara menyeluruh. Reformasi sistemik harus menjadi prioritas: mulai dari memperkuat data dan memperbaiki mekanisme penyaluran, menjamin transparansi anggaran dengan audit independen, menerapkan indikator keberhasilan berbasis dampak, hingga memastikan kesinambungan antara bansos dan program pemberdayaan yang lebih luas. Negara yang kuat adalah negara yang hadir tidak hanya untuk menolong rakyatnya bertahan hidup, tetapi juga untuk memberdayakan mereka agar berdiri tegak, mandiri, dan bermartabat.

Mari kita kawal bersama, agar bansos tidak sekadar menjadi angka dalam laporan keuangan, tetapi sungguh-sungguh menjadi alat transformasi sosial yang membebaskan rakyat dari kemiskinan dan ketidakberdayaan.

Berita Feed